Sabtu, 22 Agustus 2009

BERDOSAKAH TIDAK BERPOLITIK?

Sebagaimana telah dijelaskan dalam “Politik Menurut Kacamata Islam” bahwa politik berkaitan dengan Negara dan kekuasaan. Politik adalah upaya memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan keselamatan di kehidupan dunia maupun akherat serta mengatur urusan-urusan mereka.

Politik pada asalnya adalah seni memenej dan memelihara yang kemudian kata itu digunakan untuk penguasa terhadap rakyatnya melalui lembaga-lembaga yang dimilikinya diantaranya legislatif eksekutif dan yudikatif sebagaimana yang telah ditetapkan didalam Undang-Undang.

Slogan “Tidak ada politik didalam agama dan tidak ada agama dalam politik” merupakan slogan yang tidak layak didalam suatu masyarakat yang berpegang teguh dengan islam. Slogan tersebut prakis tertolak oleh karakteristik islam yang bersifat integral, mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk didalamnya politik.

Imam Ghazali pernah mengatakan,”Ketahuilah sesungguhnya syariah adalah asal, penguasa adalah pengawal. Segala sesuatu yang tidak memiliki asal maka ia akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak memiliki pengawal maka ia akan lenyap.” Artinya bahwa syari’ah harus menjadi dasar penguasa muslim didalam menjalankan pemerintahannya yang mengatur berbagai urusan rakyatnya.

Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa politik merupakan bagian dari keintegralan islam adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar bawah Rasulullah saw bersabda,”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai prtanggungjawabannya terhadap orang-orang yang dipimpinnya.”

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tamim ad Daariy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya,”Bagi siapa wahai Rasulullah?’ beliau saw bersabda,”Bagi Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang-orang awam dari mereka..”

Abu Bakar ash Shiddiq pernah mengatakan,”Wahai manusia, aku dahulu bekerja buat keluargaku, aku penuhi kebutuhan mereka. Adapun sekarang aku bekerja buat kalian maka mintalah kepadaku dari baitul mal kalian..”

Sejarah islam juga telah membuktikan betapa Rasulullah saw berhasil menciptakan dan meletakkan dasar-dasar hubungan antara penguasa dengan rakyatnya yang kemudian diikuti oleh para khalifah setelahnya yang sukses menjadikan masyarakat islam sebagai masyarakat yang unik yang tidak hanya berperhatian kepada urusan-urusan dunianya namun juga akheratnya.

Adapun apabila yang dimaksud berdosa bagi orang yang tidak berpolitik adalah ikut serta didalam suatu partai politik islam maka ini tidaklah betul. Seorang muslim bisa melakukan aktifitas politik yang sesuai dengan syari’ah tidak mesti harus berada didalam suatu partai politik. Ia bisa melakukan hal itu melalui ormas-oramas, lembaga-lembaga atau jama’ah-jama’ah yang ada seusai dengan kemampuan yang dimilikinya serta keadaan yang menyelimutinya selama apa yang mereka lakukan adalah membawa kemaslahatan buat umat.

Imam Al Banna mengatakan,”Kami bukanlah para politisi partai yang hanya memenangkan partai dan melawan partai yang lainnya. Kami tidaklah seperti itu dan tidak akan pernah seperti itu. Tidak seorang pun yang mampu memberikan satu dalil terhadap hal ini. Adapun kami adalah para politisi yang memperhatikan urusan-urusan keumatan.” (Majmu’atur Rosail hal 151)

Dari ungkapan beliau kita bisa simpulkan bahwa kata kuncinya bukanlah pada partai politik akan tetapi pada pekerjaan atau amal yang memberikan kemaslahatan kepada umat.

Wallahu A’lam

AL-BAQARAH DAN KEBENARAN SEMUA AGAMA

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُون


Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحًا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ


Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Maidah : 69)

Diriwayatkan dari Mujahid berkata bahwa Salman berkata,”Saya bertanya kepada Nabi saw tentang agama yang dahulu aku peluk bersama mereka. Aku menyebutkan tentang shalat dan ibadah mereka. Lalun turunlah ayat,“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

As Suddiy berkata,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62) ayat ini diturunkan berkaitan dengan para sahabat Salman al Farisy ketika dia menceritakan para sahabatnya kepada Nabi saw, bahwa mereka melakukan puasa, shalat, beriman kepadamu, bersaksi bahwa engkau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai dari memuji mereka lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Wahai Salman sesungguhnya mereka termasuk penduduk neraka.” Hal itu mengagetkan Salman lalu Allah menurunkan ayat ini.

Keimanan orang-orang Yahudi adalah orang yang berpegang teguh dengan taurat dan sunnah Nabi Musa as hingga datangnya Nabi Isa. Adapun ketika Isa datang, orang yang berpegang teguh dengan taurat dan mengikuti sunnah Musa tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti Isa maka dia celaka. Sedangkan keimanan orang-orang Nasrani adalah mereka yang berpegang teguh dengan injil dan syariat-syariat Isa dan keimanan seperti ini diterima hingga datang Muhammad saw. Maka barangsiapa yang tidak mengikuti Muhammad dan meninggalkan sunnah Isa dan injil maka dia akan celaka.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa hal diatas tidaklah menafikan apa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62) lalu Allah menurunkan setelah itu,” Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al Imran : 85)

Sesungguhnya apa yang dikatakan Ibnu Abbas adalah berita tentang tidak diterimanya cara dan amal seseorang kecuali jika sesuai dengan syari’at Muhammad saw setelah beliau saw diutus oleh Allah swt. (Tafis al Qur’an al Azhim juz I hal 284 – 285)

Adapun tentang Shobi’in maka terjadi perbedaan pendapat, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa :

1. Shobi’in adalah kelompok dari orang-orang ahli kitab yang membaca zabur.
2. Mereka adalah seperti orang-orang Majusi.
3. Mereka adalah kaum yang menyembah malaikat.
4. Mereka adalah para penyembah malaikat, membaca kitab zabur dan melaksanakan shalat menghadap kiblat.
5. Mereka adalah kaum yang tinggal di daerah setelah Iraq, mereka berada di Kuutsi, beriman dengan seluruh nabi, melakukan puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, melaksanakan shalat menghadap ke Yaman setiap hari lima kali.”
6. Shobi’in adalah para pemeluk suatu agama yang tinggal di Jazirah al Maushul dan mengatakan “Laa Ilaaha Illallah” mereka tidak memiliki amal, kitab juga nabi kecuali perkataan “Laa Ilaaha Illallah”
7. Shobi’in adalah para pemeluk agama Nuh as.

Dari sekian banyak pendapat tersebut, Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang diungkapkan Mujahid dan Wahab bin Munbih bahwa Shobi’un adalah kaum yang bukan beragama Yahudi, Nasrani, Majusi atau Musyrik. Mereka adalah kaum yang tetap berada diatas fitrah mereka, mereka tidak memiliki agama tertentu yang dianut. Karena itulah kaum musyrikin memberi gelar orang yang telah masuk islam dengan sebutan “Shobi’i”, artinya orang itu telah keluar dari semua agama orang-orang di bumi saat itu.

Sementara itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Shobi’in ada dua macam : Shobi’in yang masih lurus dan Shobi’in yang musyrik. Orang-orang Shobi’in yang lurus inilah yang dipuji dan disanjung Allah swt didalam firman-Nya :


Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

Allah memuji orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh dari kalangan empat penganut tersebut, yaitu : Orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani dan Shobi’in.

Orang-orang Shabi’in yang lurus adalah orang-orang yang mengikuti syari’at taurat dan injil sebelum mengalami penghapusan, penyimpangan dan perubahan. Sedangkan orang-orang shobi’in sebelum mereka adalah seperti orang-orang yang mengikuti ajaran Ibrahim sebelum ditutunkannya taurat dan injil. (ar Roddu alal Manthiqin hal 288)

Wallahu A’lam

HIKMAH RASULULLAH SAW.TIDAK BISA MEMBACA DAN MENULIS

وَمَا كُنتَ تَتْلُو مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ


Artinya : ”Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (QS. Al Ankabut: 48)

Juga didalam firman-Nya :

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ


Artinya : ”(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.” (QS. Al A’raf : 157)

Ayat pertama menunjukkan bahwa Nabi saw sudah ummi atau tidak dapat membaca maupun menulis sebelum diturunkannya Al Qur’an sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa orang-orang Ahli kitab telah mengetahui dirinya saw didalam kitab-kitab mereka tentang hal itu, dan tak seorang pun yang memperselisihkan hal ini.

Adapun hikmah dari tidak bisa membaca maupun menulis itu pada diri Rasulullah saw telah dijelaskan oleh ayat diatas yaitu menghilangkan tuduhan orang-orang kafir terhadap Rasulullah saw bahwa Al Qur’an diambil dari orang lain, atau dinukil dari kitab-kitab sebelumnya.

Adapun setelah diturunkannya Al Qur’an maka para ulama telah berselisih tentang apakah Rasulullah saw tetap dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis ataukah beliau saw telah mempelajari baca tulis.

Sebagian ulama mengatakan bahwa ke-ummiyan-nya saw itu tidaklah berlanjut, berdasarkan dalil-dalil berikut :

1. Didalam ”Shahih Bukhori” dijelaskan bahwa beliau saw telah merubah didalam lembaran perjanjian Hudaibiyah satu kalimat yang menyebutkan ”Muhammad Rasulullah” menjadi ”Muhammad bin Abdullah” namun beliau belum begitu pandai dalam menulis.

2. Bahwa Rasulullah saw pernah membaca lembaran Uyainah bin Hishn serta menjelaskan maknanya.

3. Bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan tentang al Masih ad Dajjal ”Terdapat tulisan diantara kedua matanya (dajjal) kafir”

Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa Rasulullah saw tetap dalam keadaan ummiy dimana hikmah keummiyannya saw itu tetaplah ada sehingga tidak terdapat celah untuk menyerang kandungan yang ada didalam risalahnya maupun Al Qur’an yang telah diterimanya sebagai sebuah wahyu dari Allah swt selama diturunkannya secara berangsur-angsur hingga akhir hayatnya saw.

Sedangkan jawaban jumhur terhadap selain mereka adalah bahwa Nabi saw telah menulis sebagian kalimat tidaklah menghapuskan sifat keummiyannya saw. Banyak orang-orang yang ummiy pada hari ini yang mampu menulis namanya sendiri lalu menandatanganinya dan pada saat yang sama dirinya tidaklah bisa membaca apa yang ditandatanganinya itu, dan mereka tetaplah ummiy.

Begitulah, dan apabila keummiyan Rasulullah saw merupakan sifat yang memiliki kesempurnaan dan hikmah maka sesungguhnya keummiyan orang-orang yang berada ditengah-tengah kita adalah sifat yang harus kita hilangkan berdasarkan nash-nash yang banyak tentang anjuran untuk belajar dan mengajar. Membaca merupakan kunci yang paling utama untuk itu. Dan diantara petunjuk Rasulullah saw didalam tebusan tawanan perang badar adalah mengajarkan membaca dan menulis bagi sebagian anak-anak kaum Anshor. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 176)

Wallahu A’lam

KRITERIA CENDIKIAWAN RABBANI

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (19) الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ (20) وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (21) وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ (22) جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ (23) سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ (24)

“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran(19), (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian..(20) Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..” (21) Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),(22) (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu,(23) (sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (24) (Arra’d / 13 : 19 - 24)

Orang yang tidak mengetahui bahwa Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah benar itu bukan orang yang bodoh (tidak tahu), melainkan orang buta! Ini merupakan metode menakjubkan dalam menyentuh hati dan menyatakan perbedaan. Pada saat yang sama, hal itu merupakan suatu kebenaran, tanpa melebih-lebihkan, tanpa menambahi, dan tanpa membelokkan. Karena kondisi buta sajalah yang mengakibatkan ketidak-tahuan tentang hakikat yang jelas dan besar ini, yang memang tidak samar kecuali bagi orang yang buta. Di hadapan hakikat ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu orang-orang yang melihat sehingga mereka tahu, dan orang-orang yang buta sehingga mereka tidak tahu! Buta dimaksud adalah buta mata hati, tertutupnya konsepsi, terkuncinya hati, padamnya cahaya ma’rifat dalam ruh, dan terputusnya ia dari sumber cahaya.

“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran..”

Orang yang memiliki akal dan hati yang sadar adalah orang yang apabila diingatkan tentang kebenaran maka ia mengambil pelajaran darinya, dan yang menyadari dalil-dalilnya lalu ia berpikir.

Berikut ini adalah sifat orang-orang yang memiliki akal itu:

“(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian..” (20)

Janji Allah itu bersifat mutlak dan mencakup setiap bentuk perjanjian. Ikrar dengan Allah itu bersifat absolut dan mencakup setiap bentuk ikrar. Perjanjian terbesar yang menjadi tonggak bagi perjanjian-perjanjian lain adalah perjanjian iman, dan ikrar terbesar yang menghimpun seluruh ikrar adalah ikrar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan iman.

Perjanjian iman itu ada yang bersifat lama (primordial) dan ada yang bersifat baru. Ada perjanjian primordial dalam fitrah manusia yang terhubung dengan undang-undang wujud seluruhnya; yang memahami secara langsung kesatuan kehendak yang menjadi sumber seluruh wujud ini, keesaan Khaliq sang empunya kehendak, dan bahwa Dia semata yang berhak disembah. Itulah perjanjian yang diambil pada manusia saat masih berada di tulang sulbi ayahnya menurut sebuah penafsiran yang kami terima.

emudian, ada perjanjian baru bersama para Rasul yang diutus Allah, bukan untuk mengadakan perjanjian iman, tetapi untuk memperbaharuinya, mengingatkannya, merincinya, menjelaskan tuntutan-tuntutannya untuk patuh kepada Allah dan meninggalkan kepatuhan kepada selain Allah, dengan disertai perbuatan baik, perilaku yang lurus, dan orientasi kepada Allah semata sebagai Pemegang perjanjian primordial tersebut.

Kemudian, perjanjian Ilahi dan ikrar Robbani itu mengimplikasikan setiap perjanjian dan ikrar terhadap manusia, baik terhadap Rasul atau kepada manusia biasa, baik kerabat atau yang bukan kerabat, baik individu-individu atau kelompok-kelompok. Seseorang yang memelihara perjanjian pertama itu harus memelihara seluruh perjanjian, karena menjaganya adalah wajib. Dan orang yang menjalankan tugas-tugas dari ikrar pertama itu juga harus menjalankan setiap yang dituntut pada manusia, karena ia termasuk beban-beban dari ikrar tersebut.

Itulah kaidah pertama yang melandasi seluruh bangunan kehidupan, yang dinyatakan al-Qur’an hanya dalam beberapa kalimat saja.

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..” (21)

Demikianlah, masalah ini dijelaskan secara global. Mereka menyambung setiap hal yang Allah perintahkan untuk disambung. Maksudnya, itulah ketaatan yang sempurna, konsitensi yang mengantar pada tujuan, dan perjalanan di atas sunnah dan sesuai undang-undang tanpa menyimpang dan tanpa berbelok. Karena itu, konteks surat membiarkan penjelasan perkara ini bersifat global, tanpa merinci satuan-satuan perintah Allah, karena perinciannya amat panjang, dan di sini itu bukan yang dituju. Karena yang dituju di sini adalah menggambarkan sifat istiqamah abolut tanpa berbelok, ketaatan abolut tanpa pernah membangkang, dan keterhubungan abolut tanpa pernah terputus. Kemudian, bagian akhir dari ayat ini mengisyaratkan perasaan dalam jiwa yang menyertai ketaatan yang sempurna tersebut:

“Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..”
Itulah rasa takut kepada Allah, takut akan siksaan yang buruk pada hari pertemuan yang menakutkan dengan-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yang berakal, yang menyadari hisab sebelum hari hisab terjadi.

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya..”

Sabar memiliki banyak corak dan tuntutan. Ada sabar terhadap beban-beban perjanjian dalam bentuk amal, jihad, dakwah, ijtihad, dan seterusnya. Ada juga sabar terhadap nikmat dan kesusahan. Sedikit orang yang bisa sabar terhadap nikmat sehingga tidak sombong dan kufur. Ada juga sabar terhadap ketololan manusia yang menyesakkan dada. Intinya, sabar, sabar, dan sabar. Seluruhnya bertujuan mencari ridha Tuhan mereka, bukan untuk menghindari tudingan manusia bahwa mereka pengecut, bukan untuk mencari muka agar disebut sebagai orang yang sabar, bukan untuk mengharap keuntungan di balik kesabaran itu, bukan untuk menolak suatu mudharat yang timbul dari sifat pengecut, dan tidak untuk tujuan apapun, selain mencari ridha Allah. Juga sabar terhadap nikmat dan ujian-Nya. Kesabaran dalam arti berserah diri kepada ketentuan-Nya, tunduk kepada kehendak-Nya, ridha, dan menerima.

“Mendirikan shalat..”

Sebenarnya mendirikan shalat itu telah tercakup ke dalam perintah memenuhi perjanjian Allah, tetapi konteks surat menegaskannya karena mendirikan shalat merupakan tonggak pertama dari upaya memenuhi perjanjian tersebut, karena shalat itu merefleksikan tawajjuh yang tulus dan sempurna kepada Allah, dan karena shalat itu merelisasikan hubungan yang jelas antara hamba dengan Rabb secara tulus kepada-Nya, tanpa ada gerak dan kalimat di dalamnya untuk selain Allah.

“Dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan..”

Infak juga sebenarnya telah tercakup dalam perintah menyambung apa yang diperintahkan Allah untuk disambung, dan juga tercakup dalam tugas-tugas perjajian. Tetapi, konteks surat menampilkannya di sini karena ia merupakan hubungan antara hamba-hamba Allah yang menghimpun mereka di jalan Allah saat mereka dalam ranah kehidupan, yang membersihkan jiwa pemberinya dari sifat bakhil, membersihkan jiwa penerimanya dari sifat iri, menjadikan kehidupan dalam masyarakat Muslim itu layak bagi umat manusia yang tolong-menolong, saling menanggung, dan mulia di sisi Allah. infak diberikan secara sembunyi atau terang-terangan. Secara rahasia sehingga kehormatan dapat dijaga dan hati berhati-hati untuk mengumumkanya. Dan secara terang-terangan sehingga keteladanan diberikan, syari’at dilaksanakan, dan untuk ditaati. Masing-masing memiliki tempatnya dalam kehidupan.

“Serta menolak kejahatan dengan kebaikan..”

Maksudnya, mereka membalas kejahatan dengan sikap yang baik terkait dengan hubungan sehari-hari, bukan perkara agama. Tetapi, ungkapan di sini melewatkan pendahuluan untuk langsung kepada hasil. Jadi, membalas kejahatan dengan kebaikan itu dapat menekan kejahatan diri, mengarahkannya kepada kebaikan, memadamkan titik api kejahatan, dan menepis godaan setan. Dari sini kejahatan itu dapat dihindarkan, dan pada akhirnya dapat dicegah. Nash menyebut bagian akhir ini secara langsung untuk memotivasi manusia agar membalas kejahatan dengan kebaikan, dan untuk mengejar hasilnya yang diharapkan..

Kemudian, ayat tersebut mengisyaratkan secara intrinsik mengenai pembalasan kejahatan dengan kebaikan, dengan syarat sikap ini dapat menghindarkan kejahatan dan mencegahnya, bukan untuk membuatnya semakin dominan! Tetapi ketika kejahatan itu perlu ditekan dan dihadapi dengan tegas, maka tidak alasan untuk membalas kejahatan itu dengan kebaikan, agar kejahatan tersebut tidak semakin merajalela, tidak semakin berani, dan tidak mendominasi.

Membalas kejahatan dengan kebaikan itu biasanya terjadi pada hubungan pribadi antara dua orang yang setara. Adapun dalam ranah agama Allah, cara ini tidak berlaku. Tidak ada cara yang efektif untuk menindak orang yang sombong dan sewenang-wenang selain konfrontasi yang kuat. Dan tidak ada cara yang efektif untuk menghadapi orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi selain tindakan yang tegas. Instruksi-instruksi al-Qur’an ini sengaja disampaikan secara global, untuk melibatkan perenungan terhadap kondisi, pemikiran, dan tindakan yang dianggap baik dan benar.

“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (22-24)

Mereka itu berada pada maqam yang tinggi, dan bagi mereka tempat terakhir yang baik, yaitu surga ‘Adn sebagai tempat tinggal dan menetap.

Di dalam surga-surga ini direkatkan kembali hubungan mereka dengan orang-orang shaleh dari kalarangan orang tua, istri dan anak cucunya. Mereka masuk surga karena keshalehan dan kepantasan mereka. Lebih dari itu, mereka dimuliakan dengan pertemuan dengan keluarga yang terpisah-pisah, dan dengan pertemuan dengan orang-orang yang dicintai. Itu merupakan kenikmatan lain, yang membuat nikmat-nikmat surga terasa berlipat ganda.

Di dalam suasana pertemuan ini, para malaikat ikut memberikan ucapan selamat dan penghormatan secara berduyun-duyun.

“Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu..”

Konteks ayat membiarkan pemandangan itu hadir di depan mata, seolah-olah kita menyaksikannya dan mendengar ucapan para malaikat itu rombongan demi rombongan.

“‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (24)

Itulah parade yang sarat dengan pertemuan, salam, gerak yang kontinu, dan penghormatan.

MENCAPAI DERAJAT SIDDIQIN

Sifat shidiq merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq.

بسم الله الرحمن الرحيم

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (رواه البخاري)

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau bersabda. ‘Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)

Sekilas Tentang Hadits.
Hadits ini dengan jalur sanad merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh seluruh A’immah Ashab Kutub Al-Sittah, kecuali imam Nasa’i :

- Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur sanad Jarir bin Mansur, dari Abi Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah SAW, dalam Shahihnya, Kitab Al-Adab, Bab Qoulullah Ta’ala Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah Wakunu Ma’as Shadiqin, hadits no 6094.

- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab, Bab Qabhul Kadzib Wa Husnus Shidq Wa Fadhluh, hadits no 2607.

- Imam Turmudzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr Was Sillah An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fis Sidqi Wal Kadzibi, hadits no. 1971, melalui jalur sanad A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Ibnu Mas’ud.

- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Adab, bab Fi Attasydid Fil Kadzib, hadits no. 4989, melalui jalur sanad Al-A’masy, dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud.

- Imam Ibnu Majah dalam Muqaddimah di Sunannya, Bab Ijtinab Al-Bida’ Wal Jadl, hadits no 46, malalui jalur sanad Abu Ishaq, dari Abu Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud.

- Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya, pada Musnad Al-Muktisirn Minas Shahabah dalam Musnad Ibnu Mas’ud, hadits no 3631, 3719, & 4097.

Gambaran Umum Tentang Hadits

Hadits sederhana ini menggambarkan tentang adanya dua hakekat perberbedaan yang begitu jauh, sejauh perbedaan antara surga dan neraka. Hakekat pertama adalah mengenai assidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan Rasullah saw sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang ke surga. Sementara hakekat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka.

Rasulullah SAW ketika menggambarkan kedua hal di atas, sekaligus mengaitkan juga dengan mashirah (kesudahan) dua sifat yang berbeda tadi, yaitu surga bagi yang shadiq serta neraka bagi yang kadzib. Faedahnya adalau untuk memberikan tadzkir yang medalam, serta tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai masalah yang ringan. Karena secara tabi’at, manusia seringkali menganggap remeh keduanya. Sementara kesudahan dari kedua sifat di atas sangat jauh berbeda, sejauh perbedaan antara surga dan neraka.

Pada kedua sifat yang digambarkan Rasulullah SAW di atas, selalu diikuti dengan perilaku manusia terhadap kedua sifat tersebut, hingga manusia akan menjadi salah satu diantara keduanya; shadiq atau kadzib. Artinya, untuk dikatakan bahwa seseorang itu adalah shadiq misalnya, ia harus membuktikannya dengan perbuatannya sendiri, hingga ia dengan sendirinya akan mendapatkan “gelar” sifat tersebut. Sebaliknya, seseorang yang dikatakan sebagai pendusta, adalah hasil dari perilaku dan perbuatannya, yang akhirnya menjadikannya sebagai pendusta. Dalam kasus pertama, contoh yang paling kongkrit adalah Abu Bakar As-Shidiq. Karena Abu Bakar merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:

قَالَ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”

Puncaknya adalah pada kejadian isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW. Namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?”. Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakattannya itu benar. Dan aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Assidiq. Gelar Assidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat sidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar, sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa sidiq merupakan sifat yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT.

Pengertian Assidq

Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi makna yang dikandungnya:

الصدق: من صدق – يصدق - صدقا

Lawan kata sidiq adalah kadzib (dusta). Diantara arti sidiq adalah: Benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Penulis melihat bahwa sidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Alah dan Rasulullah SAW yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Contoh kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj, diwaktu tiada orang yang mempercayai Rasulullah SAW. Artinya, sifat shidiq ini lebih dekat pada kebenaran implementasi keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Benarkah imannya, atau dustakah ia? Meskipun tidak salah juga ketika mengartikan shidq dengan kejujuran, sebagaimana lawan katanya yaitu al-kadzib dengan kedustaan.

Para ulama sendiri, ketika diminta komentarnya mengenai makna dari Shidiq, mereka memiliki beragam gambaran, diantaranya adalah sebagai berikut :

• Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
• Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
• Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang membayahakan dirinya.
• Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.

Sidiq Merupakan Hakekat Kebaikan

Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat ini digambarkan dimensi yang dicakupi oleh sidiq yaittu meliputi keiamanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: (QS.9 : 119)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq). ”

Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal bwerikut:

1. Bahwa sidiq itu menuntun seseorang menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya ke surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ… (متفق عليه)
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’

2. Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib meruapakan sumber dari keburukan:

وإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار… (متفق عليه)
“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.”

3. Sidiq merupakan ketenangan. Hal ini tergambar dari hadits Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (رواه الترمذي)
Dari Abu Haura' As-Sa'dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah SAW? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketengangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)

4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah SAW. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus:

عَنْ أَبِيْ سُفْيَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ هِرْقَلٌ فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانٌ، قُلْتُ يَقُوْلُ اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)
“Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.”

5. Dengan sidiq seseorang akan mendapatkan pahala sesuatu yang dicita-citakannya, meskipun ia belum atau tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi cita-citanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.”

6. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengemukakan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مَحَقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (متفق عليه)
“Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.”

Siddiqin dan Saddiqat akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar

Dalam al-Qur’an dengan sangat jelas Allah memuji orang yang sidiq, baik dari kaum mu’minin maupun mu’minah. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surat al-Ahzab (QS. 33: 35) Allah mengatakan:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin

Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: (QS. 4: 69)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Posisi apakah yang paling mulia di akhirat kelak selain posisi para nabi dan syuhada’ serta orang-orang shaleh?. Hal ini menunjukkan betapa sidiq merupakan sifat yang sangat disukai Allah SWT. Jika tidak, tentu Allah tidak akan menjanjikan sesuatu yang sangat tinggi kepada mereka.

Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi

Dalam al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim as. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: (QS. 19: 41)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”

Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris as. Allah juga memujinya dalam al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: (QS. 19: 56)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”

Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf as. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman: Allah berfirman (QS. 12: 51):

قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ اْلأَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."

Ciri-ciri Orang yang Sidiq

Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:

1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23)
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”

3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. (QS. 2: 177)

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101)

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”


Cara Mencapai Sifat Sidiq

Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:

1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.

2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.

3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.

4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam:

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”

5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.

6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.

7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.

Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, marilah kita menjaga hati kita dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat sidiq. Untuk kemudian berusaha setahap demi setahap untuk menumbuhkan sifat sidiq, agar kita dapat bersama-sama dengan para nabi, syuhada’ dan shalihin di akhirat kelak. Amiin.

PENADAPATAN DI LUAR GAJI POKOK

16/02/2009
Telah diketahui bahwa gaji pokok para bupati, gubernur, anggota dewan perwakilan rakyat dan para pejabat lainnya jelas-jelas tidak dapat menutup biaya yang dikeluarkan selama masa kampanye. Namun nyatanya masih saja banyak yang berminat. Hal ini lantaran para calon pejabat yakin penghasilan di luar gaji pokok atau biasa disebut dengan ceperan itu jumlahnya lebih banyak, seperti dari persenan (fee) para kontraktor yang menang tender, serta uang lembur, tunjangan-tunjangan dan lain-lain yang yang melebihi dari gaji pokok dan jumlahnya berlipat-lipat.

Bagaimanakah konsep fiqh tentang pendapatan di luar gaji pokok di atas. Halalkah pendapatan di luar gaji pokok itu?

Dalam beberapa kitab mu’tabarah yang menjadi rujukan pesantren seperti Bughyatul Mustarsyidin, Roudlotut Tholibin, I’anatut Tholibin, Ahkamus Shulthoniyah, Ihya` Ulumiddin, Ta’liqatut Tanbih fi Fiqhis Syafi’i dan Al-Bajuri tidak ada penjelasan secara khusus mengenai gaji pokok dan gaji ceperan untuk para pejabat.

Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin secara sederhana dijelaskan bahwa gaji para hakim, juga para wakil rakyat yang bekerja untuk kemaslahatan umat diambilkan dari kas negara (baitul maal), dengan kadar yang pantas dan tidak berlebihan. Selanjutnya, setelah mendapatkan gaji itu, para pejabat tidak diperkenankan mengambil imbalan dari dua orang yang sedang bertransaksi, para hakim tidak boleh memungut sesuatu pun dari pihak-pihak yang bermasalah, dan para petugas nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) tidak boleh menerima pemberian dari orang yang melangsungkan akad akad nikah.

Para hakim diharamkan menerima suap (riswah). Dalam Roudlotut Thalibin, mengutip Syeikh Abu Hamid, dijelaskan, jika pun kas negara tidak cukup dana (rizki) untuk menggaji para hakim, maka diperkenankan meminta rizki kepada pihak-pihak bermasalah dan disepakati sebelum permasalahan disidangkan. Penjelasan serupa juga ditemukan dalam kitab I’anatut Tholibin.

Persoalan penghasilan di luar gaji pokok dikaitkan dengan pembahasan tentang riswah atau suap. Namun dalam banyak pembahasan, riswah dibedakan dengan pengertian hadiah. Dalam kitab Ihya` Ulumiddin disebutkan, Imam Ghazali ditanya, apa mungkin riswah dan hadiah dibedakan, toh keduanya tidak mungkin diberikan tanpa ada maksud, kenapa riswah dilarang sementara hadiah tidak, apa yang membedakan keduanya?

Imam Ghazali menjawab, memberikan sesuatu kepada orang lain memang tidak mungkin tanpa maksud. Dalam penjelasan yang panjang lebar Imam Ghazali menjelaskan bahwa pemberian itu sejatinya dimaksud untuk mendekatkan diri dengan pihak yang diberi, atau si pemberi berharap akan memperoleh dampak dari pemberian itu. Jika si pemberi sekedar berharap mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dengan pemberian itu maka hukumnya maksuh saja, dan ini adalah hadiah. Sementara jika pemberian itu dimaksud untuk mempengaruhi keputusan hakim atau kebijakan pemerintah, atau si pemberi memberikan hadiah kepada para hakim dan pejabat atas kebijakan yang menguntungkan dirinya, maka itu adalah riswah.

فَإنْ كَانَ جَاهُهُ بِوِلَايَةٍ تَوَلَّاهُ مِنْ قَضَاءٍ أوْ عَمَلٍ أوْ وِلَايَةِ صَدَقَةٍ أوْ جَبَايَةِ مَالٍ أوْ غَيْرِهِ مِنَ اْلأَعْمَالِ السُّلْطَانِيَةِ حَتَّى وِلَايَةِ الْأَوْقَافِ مَثَلاً وَكَانَ لَوْلَا تِلْكَ اْلوِلَايَةِ لَكَانَ لَايَهْدَى إلَيْهِ فَهَذِهِ رِشْوَةٌ عَرَضَتْ فِيْ مَعْرِضِ الْهَدِيَّةِ-- إحياء علوم الدين؛ ج 2/ ص 152-153

Apabila hadiah itu diberikan berkaitan dengan jatuhnya keputusan pengadilan, atau pencairan dana sosial dan berbagai kebijakan pemerintah yang lain seperti terkait wakaf, dan jika tanpa maksud itu seseorang tidak akan memberikan hadiah maka yang semacam ini disebut riswah (suap), meskipun kelihatannya seperti hadiah. (Ihya’ Ulumiddin 2: 152-153)

Maka kembali kepada pertanyaan di atas, berdasarkan beberapa uraian dalam kitab-kitab mu’tabarah tersebut, bisa disimpulkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari hasil ‘main mata’ dengan para kontraktor berupa uang persenan hukumnya adalah haram, sekalipun ada Undang-Undang yang membenarkan ini.

Sedangkan pendapatan lain yang didapat dari gaji lembur atau berbagai fasilitas tambahan yang diberikan dari negara dibolehkan sepanjang itu setimpal dengan jerih payah yang dilakukan dalam mengurus rakyat atau mewujudkan kemaslahatan umat. Definisi setimpal ditentukan oleh adat atau berdasarkan rata-rata penghasilan masyarakat setempat (qadra kifayatil laiqah min ghairi tabdzir), atau mungkin tepatnya tidak terlalu jauh melebihi upah minimum regional (UMR).--

Disarikan dari hasil bahtsul masail Diniyah Waqiiyah Syuriyah PWNU Jawa Timur di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, Dukun, Gresik. Pertanyaan tentang gaji lebihan pejabat ini diajukan oleh PCNU Blitar. (A. Khoirul Anam)

PUASA ITU MADRASAH

Syekh Soleh Basalamah: Puasa itu Madrasah
Ahad, 23 Agustus 2009 03:38
Brebes,
Manusia diciptakan di muka bumi ini tiada lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka fungsi dan peranan ibadah itu sendiri harus dihayati agar tidak dianggap sebagai beban.

“Allah SWT, pada dasarnya tidak butuh ibadahnya manusia,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Jatibarang Brebes Syekh Soleh Muhammad Basalamah kepada NU Online di rumahnya kompleks pesantren, Sabtu (22/8).

Allah SWT, lanjutnya, hanya memberi rambu-rambu alias petunjuk. Kalau manusia beribadah, tiada lain agar hidupnya bisa berubah dalam segala aspek. Beberapa ayat menjelaskan, bila shalat maka akan dijauhkan dari sifat nahi dan mungkar. Bila sedekah maka akan ditambah rizkinya dan bila puasa maka akan ditingkatkan derajat takwanya.

Makanya, kata Syekh Soleh, Ramadhan berfungsi sebagai Madrasahnya kaum Muslimin. Saat belajar di madrasah, siswa harus mampu menunjukan prestasinya agar naik kelas. Ada juga proses pembelajaran yang dilakukan secara tertata dengan jam pelajaran yang telah ditentukan pula.

Nilai-nilai ibadah itu, akan diganjar positif ataupun negatif langsung oleh ‘Sang Guru Agung’, Allah SWT. “Sebagai pribadi muslim, harus introspeksi diri disetiap Ramadhan,” tandasnya.

Contoh kecil, lanjut Syekh Soleh, ketika belum balik ibadah puasa hanya sekadar menahan haus dan lapar. Setelah dewasa, tentu harus ditambah dengan amalan-amalan sholeh lainnya. Tahun yang lalu dalam satu Ramadhan hanya hatam sekali maka tahun ini harusnya hatam 2 kali dan seterusnya. Bagi para aghnia dewasa, harus ditambah sedekahnya.

Dia berharap, di dalam Ramadhan kita bisa bertambah ilmunya. “Sekarang kita lagi duduk di kelas berapa, maka ilmu dan amalnya harus di seimbangkan,” harapnya.

Ibarat menanam pohon, maka bertambah tahun akan tumbuh, berbuah dan panen. “Ketika kita mencapai derajat takwa, maka kita dikategorikan sebagai hamba yang berhak panen, fitrah di hari raya,” pungkasnya. (was)

POLITIK DAN AGAMA

KAJIAN BULANAN

Addin wa As siyasah:

.Sebuah jawaban untuk kaum sekuler .

Setelah jatuhnya turki utsmani pada tahun 1924, politik islam semakin terjepit untuk kembali bangkit, tanah arab yang merupakan tanah kelahiran islam kini seakan tak memberi ruang lagi. Adalah seorang kamal attaturk(orang islam lebih senang menyebutnya dengan panggilan kamal a’dai turk)sang proklamator sekulerisme yang telah menyebabkan politik islam porak poranda. Namun jauh sebelum kejatuhan khilafah utsmani, isu untuk menjauhkan islam dari dunia politik kekuasaan telah muncul di negara bagian utsmani, tepatnya mesir. Orang yang pertamakali mengangkat isu sekulerisme adalah ali abdul raziq, ulama azhar kelahiran menya ini telah banyak mendapat kecaman dari ulama azhar lainnya karena bukunya yang controversial ushulul hikam (dasar-dasar pemerintahan). Dan kini isu yang sempat di hembusklan oleh sang bapak sekulerisme itu terus mendengung dari ujung barat hingga ujung timur.dari utara hingga selatan, namun walaupun derasnya arus islamophobia politik tak menciutkan hati pecinta tegaknya khilafah untuk kembali berdiri di muka bumi, meski usaha untuk membangkitkan kembali khilafah itu sendiri menjadi ilusi, apalagi di tengah arus hegemoni dunia lain yang semakin tak berpihak.

Banyak alasan yang selalu menjadi ter dalilkan kaum sekuler untuk memasung kebebasan islam dalam berpolitik. Hal yang paling mendasar bagi mereka adalah ketiadaannya dalil yang qat’ie baik dari qur’an maupun dari sunnah tentang konsep negara dalam islam, hampir setiap kali ada isu kembalikan khilafah islam atau negara islam mereka dengan lantang berkata berikan kami dalil yang menyebutkan konsep negara islam. Dalam pandangan mereka khilafah islam yang pernah di miliki islam sekian abad lamanya adalah merupakan bentuk ijtihad politik belaka, yang hukumnya tidak wajib namun juga tidak haram. Bagi mereka agama adalah ruang privat yang tidak ada wewenang sama sekali dalam urusan politik,sosial, dan ekonomi. Lagi-lagi mereka menjadikan hadis nabi "Antum a'lamu bi umuuri dunyakum" kalian lebih tau akan urusa dunia mu,sebagai dalil atas legalitas sekulerisme.

Sebenarnya kalau kita mau jujur, sikap penolakan mereka terhadap politik islam hanyalah bentuk ketakutan yang tidak mendasar sama sekali. Ketakutan mereka akan negara islam terletak pada beberapa hal seperti tercerabutnya demokrasi, pemasungan hak-hak perempuan dan hak asasi manusia, termarginalkannya kaum minoritas, dan banyak lagi yang lainnya yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan hukum islam. Kekhawatiran mereka seakan terbukti dengan mengambil potret Negara-negara yang sudah memberlakukan hokum islam seperti Saudi di bawah rezim wahabi nya, Afghanistan di bawah rezim thalibannnya, bahkan Iran di bawah rezim syiahnya. Padahal negara-negara tersebut hanyalah bentuk negara islam yang terpotong oleh madzhabnya kalau tidak boleh di sebut tidak mewakili islam yang kaffah.

Telah banyak bantahan dan jawaban atas tuduhan yang di lontarkan oleh kaum sekuler . diantara sekian banyak ulama yang paling aktif mengcounter fitnah-fitnah tersebut adalah As syeikh DR.Yusuf Alqhordhowi. Ulama kelahiran mesir yang di cabut hak kewarganegaraannya karena ulah penguasaa zhalim ini telah banyak menghasilkan karya. Salah satu yang akan kita bahas sekarang adalah karyanya tentang agama dan politik, sebuah jawaban bagi kaum sekuler.

Pada kajian kali ini saya hanya akan mencoba menguraikan tiga poin penting dari isi buku tersebut,mengingat bagian tersebut merupakan bagian yg sangat rawan akan fitnah dan manipulasi tafsir di samping bagian-bagian yang lainnya sudah di bahas sama rekan saya dasram efendy.

Tiga bagian penting yang selalu menjadi sasaran kaum sekuler dalam mencegah keikut sertaan islam dalam panggung kekuasaan adalah demokrasi,hak asasi manusia,dan hak kaum minoritas.

Demokrasi.

Demokrasi menjadi system pemerintahan yang di gandrungi banyak negara di barat, sistim ini seolah menjadi sistim pemerintahan yang benar dan tepat karena modelnya yang di anggap memihak kapada rakyat. Suatu pemerintahan yang di kendalikan oleh rakyat,dari rakyat dan untuk rakyat dengan jargonnya yang terkenal vox people vox die,suara rakyat adalah suara tuhan. Dengan janji dan iming-iming seperti inilah kemudian barat menyebarkan dakwah politiknya ke berbagai negara di pelosok dunia, tak terkecuali negara-negara islam. walau dakwah tersebut pada kenyataannya sangat jauh sekali dari arti demokrasi sendiri.

Banyak kalangan dari islam yang menolak akan demokrasi sebagai alat pemerintahan, karena dalam islam yang berhak mengatur hukum itu adalah Allah.tidak ada hukum selain hukum Allah. Berbeda dengan demokrasi yang menyerahkan segala hukumnya kepada rakyat. Hal inilah yang menjadikan barat dan kaum sekuler takut dan khawatir atas bangkitnya kembali islam dalam panggung kekuasaan, karena akan menghilangkan sistim pemerintahan yang sudah di akui oleh beberapa negara maju.dan atas tafsiran tersebut maka negara islam akan sangat tidak berpihak kepada rakyat dan sudah pasti akan mengancam hak asasi manusia.

Demokrasi akan menjadi alat pemerintahan yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum islam bila di jalankannya dengan benar dan sesuai dengan arti kata yang sesungguhnya. Demokrasi bukanlah bermaskud mengambil hak Tuhan dengan suara rakyatnya, tetapi demokrasi adalah mengambil hak rakyat yang terrampas oleh penguasa tirani untuk kemudian menjadi suara tuhan.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa sebagian kalangan dari islam menolak demokrasi di antaranya adalah:

Demokrasi adalah hukum produk manusia, sedangkan hukum islam adalah bersumber dari Allah yang maha mengetahui akan kebutuhan hamba Nya.

-Demokrasi adalah hukum yang berlandaskan kepada suara terbanyak, padahal suara banyak tidaklah mencerminkan kebenaran.

-Demokrasi merupakan hal yang baru atau bid’ah yang tidak pernah ada dalam literature islam masa lalu. Dan setiap yang baru adalah bid’ah.

-Demokrasi adalah hukum produk barat yang tidak pernah meyakini kebenaran Allah bahkan cenderung atheis, bagaimana kita meyakininya sebagai alat pemerintahan yang tidak pernah meyakini keberadaan tuhan.

Untuk menjawab syubhat tersebut, saya kutipkan sanggahan DR.Yusuf qhardhawi : bahwa demokrasi adalah hukum manusia tidaklah menjadikannya sebagai sesuatu yang tercela, bukankah Allah sendiri menganjurkan kepada hamba Nya untuk selalu menggunakan akal dalam kehidupannya. Adapun demokrasi yang berlandaskan suara terbanyak merupakan bagian dari tarjih dalam berijtihad, walau banyak ayat yang menyatakan bahwa Allah tidak selalu berpihak kepada mayoritas, namun terdapat juga hadis nabi yang menyatakan bahwa tidak mungkin ummatku bersepakat dalam kejahatan. sedangkan demokrasi sebagai hal baru yang bersumber dari barat tidak mesti harus di tolaknya. Bukankah demokrasi merupakan ilmu sebagaimana kata sayyidina ali ilmu adalah barang milik ummat islam yang hilang maka dimanapun ia berada ambillah.

Hak asasi manusia.

Hal paling tabu di kalangan kaum sekuler adalah jika negara islam berdiri yang bersandarkan kepada hukum syariah, maka hak asasi manusia akan terancam, seperti hak kebebasan beragama, hak perempuan, hak kebebasan berekspresi yang di anggap menyimpang oleh islam, hak kaum minoritas.

Sebelum menjawab fitnah-fitnah tersebut harus di ketahui bahwa islam bukan sekedar agama, islam lebih luas cakupannya dari sekedar agama. Ia merupakan wordview, tidak ada pedoman hidup yang lengkap seperti islam, yang menghormati bahkan memuliakan manusia. Firman Allah :Dan telah aku muliakan anak adam(Al isra :70).berdirnya negara islam adalah untuk melindungi hak manusia dari rongrongan kaum tirani. Lebih husus lagi islam melindungi hak kaum lemah di hadapan penguasa, hak individu di hadapan masyarakat banyak, hak kaum miskin di hadapan para saudagar, hak buruh di hadapan para majikan, hak perempuan di hadapan laki-laki, bahkan islam melindungi hak binatang di hadapan manusia.

Kebebasan beragama adalah hal yang masih di ragukan jika negara islam berdiri, padahal dalam islam sendiri agama adalah hak pribadi yang tidak bisa di paksakan oleh orang lain. Firman Allah :Tidak ada paksaan dalam agama(Albaqoroh:256) kebebasan beragama juga sudah terjamin dalam Alqur’an ‘‘barang siapa yang hendak beriman kepada Allah maka berimanlah dia, dan barang siapa yang hendak kufur, kafirlah ia’’(Alkahfi:29)

Adapun kebebasan keluar dari agama atau murtad inilah yang membutuhhkan kepada penerangan yang jelas. Islam bukanlah agama mainan yang bisa masuk dan keluar se kehendaknya, tapi islam juga bukanlah sebuah agama otoriter yang memaksa orang lain untuk masuk ke dalamnya. Islam menghargai perbedaan dan itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa di gugat. Hanya saja kalau islam di jadikan mainan dengan masuk dan keluar sekehendaknya itu yang harus di berikan sangsi, layaknya sebuah negara apabila ada warga nya sementara dia berkhianat kepada negaranya dengan memberikan dukungan kepada negara lain maka sudah pasti akan mendapat hukuman. Begtu pula dengan islam. Sedangkan masalah hukuman mati bagi yang murtad dari islam itu bukanlah hal yang di sepakati oleh ulama. Hukuman bisa saja berbentuk penjara atau dialoge sebagaimana yang pernah di lakukan umar pada masa sahabat.

Hak kebebasan perempuan juga sudah terjamin dalam islam, bahkan islam adalah garda terdepan dalam membela hak perempuan, banyak ayat yang memposisikan perempuan sederajat dengan laki-laki , baik di bidang agama, sosial dan politik,bahkan dalam asal penciptaan pun. Adapun ayat yang mengatakan bahwa laki-laki adalah imam bagi perempuan dalam hal rumah tangga itu bukanlah karena keutamaan, melainkan karena rumah tangga merupakan sebauh admisnistrasi yang membutuhkan kepada direktur, dan suamilah yang berhak memimpinnya karena dia lah yang menafkahi istrinya. Arti kata pemimpin juga bukanlah berhak untuk mengatur sana sini, tetapi di butuhkan kepada musyawarah antara suami dan istri sehingga tidak ada pihak yang di rugikan.

Adapun islam “membatasi” ruang hubungan baik lawan jenis maupun sesama jenis, itu bukanlah yang di serukan islam sendiri. Setiap agama pun memerintahkan kepada kebaikan dan tidak menghendaki kejahatan.

Dalam perjanjian lama terdapat sepuluh nasehat diantaranya adalah:jangan membunuh,jangan mencuri , jangan berzina….

Dalam injil terdapat bahwa isa berkata kepada murid-muridnya :telah berkata kaum sebelummu janganlah berzina,dan saya katakan kepada kalian barang siapa yang melihat perempuan dengan syahwat maka ia telah berzina..

Jadi pembatasan hukum islam tarhadap hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hal yang di sepakati oleh setiap agama, bukan oleh islam sendiri.

Hak minoritas.

Tidak ada agama yang bisa menjamin hak minoritas selain islam, madinah adalah potret keberhasilan islam dalam membangun sebuah masyarakat bernegara. Sebuah masyarakat yang menjamin kebebasan beragama, namun tetap menjaga keutuhan agama yang di anutnya. Adapun kekhawatiran kaum sekuler terhadap hal-hal yang bisa merugikan kaum minoritas tidaklah mendasar sama sekali, seperti tanggapan bahwa kaum minoritas adalah kaum kelas dua yang terbahasakan dengan kaum dzimmah(baca:kaum yang diikat janji), adanya kewajiban bayar jizyah, kewajiban mentaati syariat yang tidak pernah di yakini oleh kaum minoritas, serta ketiadaan hak dalam membangun dan memajukan negara dengan turut andil dalam memberikan jabatan-jabatan tertentu.

Istilah dzimmah terasa mengganjal bagi kaum minoritas, seolah mereka termarginalkan. Namun istilah dzimmah juga bukanlah hal yang patut di yakini sebagai nama dari tuhan, ia merupakan istilah dan janji islam untuk menjamin kebebasan mereka dalam bernegara, sekalipun itu di hapus menjadi yang lebih umum seperti warga negara tidaklah menjadi dosa.

Adapun kewajiban membayar jizyah, atau kompensasi atas jaminan hidup itu adalah sebagai ganti dari kewajiban jihad membela agama dan negara. Karena islam tidak menyeru kaum non muslim untuk memaksa kepada ibadah yang tidak pernah di yakininya. Sedangkan sekarang di mana pertahanan negara sudah terjamin dengan adanya militer, maka dengan sendirrinya kewajiban jizyah pun gugur.

Islam tidak pernah memaksa non muslim untuk patut dalam syariatnya, apabila syariat di tegakkan dan akan menimbulkan syariat-syariat agama lainnya itu tidak menjadi masalah. hukuman yang berlaku dalam islam tidak berlaku bagi non muslim, seperti hukuman bagi pemabuk, itu tidak berlaku bagi non muslim karena mereka tidak mengharamkannya.

Sedangkan larangan non muslim menjadi pemimpin itu juga membutuhkan kepada penerangan yang jelas. Pemimpin dalam islam adalah layakanya imam dalam sholat, sehingga di butuhkan keimanan yang kuat kepada Allah SWT. Bagaimana mungkin seorang non muslim bisa menjadi imam bagi masyarakatnya yang muslim. Namun itu tidaklah menutup kemungkinan dalam kepemimpinan yang lainnya atau menjadi wakil dalam kepemimpinan pusat sekalipun. Seperti yang di alami perdana mentri syuria, faris khury. Dia adalah seorang Kristen namun mayoritas masyarakat syuria adalah islam dan mereka menerimanya dengan lapang dada, karena islam tidak menutup kepemimpinan non muslim.

Sebenarnya banyak hal yang masih belum tergali dari buku Addin wa siyasah karangan DR.yusuf Alqharadhawi. Hanya saja saya kutipkan poin-poin besarnya saja selain karena sudah di bahas rekan saya, poin-poin ini juga merupakan isu yang paling rawan akan manipulasi tafsir dari kalangan sekuler. Semoga apa yang saya kutip bisa mewakili dari isi kitab penulis nya. Semoga amien.