Sabtu, 04 Juli 2009

DOKTRIN ASWAJA DI BIDANG SOSIAL- POLITIK

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?


APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?  

PERTANYAAN

Telah terjadi polemik dalam beberapa surat kabar di
Kairo seputar masalah "cadar" yang dipakai sebagian
remaja muslimah, khususnya para mahasiswi. Hal itu
berawal dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang
mengajukan tuntutan ke pengadilan karena merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.

Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila ada
tuntutan dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.

Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin,
menulis artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang
isinya bertentangan dengan keputusan pengadilan.
Menurutnya, cadar dan penutup wajah itu merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.

Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan yang batil
ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.

JAWABAN

Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb
semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia, junjungan kita
Nabi Muhammad saw., kepada keluarganya, dan para
sahabatnya.

Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai
bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan
berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan
tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya
menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi
diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.

Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau
lainnya.1

Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman
Allah:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab:
59)

Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan
kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in - Ubaidah
as-Salmani - bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan
jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Tetapi penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata,
"Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal)
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."

Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita
muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2

Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan
pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang
sependapat dengan saya, misalnya Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil
Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama
al-Azhar di Mesir, ulama Zaitunah di Tunisia,
Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama
sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar,
karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang
menentangnya.

Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara
Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang
pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib
menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang
berpendapat demikian ialah ulama besar dan da'i
terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping itu, masih terus saja bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu
yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan
iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan
agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang
ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali mereka memasukkan saya kedalam kelompok
ulama seperti ini.

Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang
merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti
pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?

Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan
pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib
diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat
mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.

Kalau kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan
pendapat yang berbeda dengan pendapat kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih Islam yang
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena
berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi
dan kami seru manusia untuk membebaskan diri
daripadanya.

Bahkan seandainya wanita muslimah tersebut tidak
menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya
menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang
akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan
khusus?

Saya mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada
sumber-sumber tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan
pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang
menyeluruh.

Boleh jadi karena dia bersandar pada sebagian
tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.

Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang
mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum,
kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.

Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang
memakruhkannya pun tidak ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama
al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

Kalau hal itu hanya sekadar mubah - sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula
mustahab - maka merupakan hak bagi muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk
melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak
pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir yang
menyindir orang yang bersikap demikian:

"Seseorang bertopang dagu, mengapa Anda kesal
terhadapnya?"

Hukum buatan manusia sendiri mengakui hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.

Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar,
sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan
tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis,
membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan
fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian
yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu
diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan
kaum muslim.

Kalau pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang
pakaian yang seronok itu, sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan undang-undang yang telah menetapkan
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa
hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok
perundang-undangan.

Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!

Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang
berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang
berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan
sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan

Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
ayat tersebut.

-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-