Peraturan Debate Bahasa Inggris
13 04 2008
Motion :
Topik yang diperdebatkan (Tentu sudah pada tahu…)
Parameter :
Limitation of the argument, yaitu batasan yg harus diberikan oleh team positif agar pembicaraan tidak panjang lebar dan tidak sesuai dengan Motion.
Parameter penting sekali karena dalam perdebatan akan muncul ide-ide baru yang nantinya tidak akan bertemu pada satu titik.Maka gunanya parameter untuk membatasi isi daripada pembicaraan.
Parameter juga bisa digunakan sebagai penjebak apabila team lawan berargumen yg keluar dari parameter anda.
Jika Affirmative Team tidak memberikan parameter maka haknya bisa diambil oleh Negatif Team dan itu sangat berbahaya, karena jalur pembicaraan dipegang oleh team lawan.
Team Split :
Bagian-bagian yang akan di bicarakan oleh masing-masing speaker.
Misalnya : society point of view,Law point of view,Morality point of view,Health pof dll.
Themeline :
Garis besar/inti dari motion yg diambil dari keseluruhan argument
Matter :
Materi yg dismpaikan harus sesuai dan berhubungan dengan motion(jgn keluar jalur)
Manner :
Cara penyampaian argument: sopan,tegas,meyakinkan,suara jgn sampai lembek karena berpengaruh pd kekuatan argument anda,jg BODY LANGUAGE jg sangat penting(jgn tegang seprti patung).
(bisa dengan alittle bit emotion,tapi jangan marah2)
Method :
Metode penyampaian dari 1st speaker-3rd speaker dan pembagian tugas harus jelas.
Ketiga unsur ini mempengaruhi margin dalam penjurian.
Timer :
Ini juga sangat penting waktu semakin panjang makin bagus.
Pengalaman saya : waktu bicara tidak usah terburu2 jika apa yg disampaikan tidak banyak, cobalah mengulur waktu dengan pura2 berpikir(acting),jadi waktu kita yg lama sebelum ketukan harus berhenti akan menambah margin juga dalam penilaian.
Reply Speech:
Kesimpulan dari ketiga argument yg menguatkan. Bisa di bawakan oleh 1st atau 2nd speaker(pembicara ketiga tidak boleh memberikan Reply Spech didlm Australian debate rules.
Perlu diingat dlm penyampaian reply spech jangan sampai membuka kasus/ ide baru.Hanya sebuah penegasan dari argument team saja.
Tugas2 Team Affirmatif
1st speaker: (1st speaker mendapat tugas paling banyak dan jangan ada yg tertinggal)
1.
Introducing team
2.
Giving the motion,parameter,themeline and team split.
3.
argument
Contoh:
Greetings
Good morning/afternoon,ladies and gentleman the member of this house..atau..Madam,Mr.speaker sir the member of this house.
Thankyou for the apportunity that given to me.We are from SMK N 1 Saptosari Wonosari.Lets me to introduce our team.
Me as the 1st speakr,my name is…, Our 2nd speaker is…,and our 3rd speaker is…
Next i would like to give our motion today,our motion today is Thbt our govermnt should take a firm action upon illegal miner.
From that motion we will give our themeline: That we as the affirmatif team absolutly agree that the gvrment must take a firm action to the illegal miner for the goodness of our country.
Then our parameter today is that we just talk about the gold illegal miner in our country(dalam hal ini bs anda ganti dgn pertambangan yg lain,misal: minyak etc.)
(Jadi jika lawan anda sampai bicara soal minyak padahal team anda memberikan pembatasan hanya pada penambangan emas,berarti satu kelemahan dari lawan bisa anda jadikan senjata.Anda bisa langsung nembak bahwa apa yg merka bicarakan lari dari parameter yg anda buat sbg team+)
well,continue to our team split,
Me as the 1fst speaker would like to talk about the effect for Economic point of view,our 2nd speaker would like to talk about the Law pov and the 3rd speaker wldlike to give more proof and summery of our argument. (bisa diganti P.o.v.yg lain, mis: society dll)
And for the reply speech(kesimpulan) will be give by (1st or 2nd )speaker.
Next ladies and gentleman,i would like to give mour argument..(…)silahkan berargument sesuai point of view anda.
Jangan lupa untuk memberikan salam penutup dan ucapan terimakasih (untuk semua pembicara)
2nd speaker:
Tugas:
1.
Rebutle the 1st speaker of Neg Team.
2.
Argument
3rd speaker:
1.
Rebutle the 2nd speaker of Neg team
2.
Memberikan penguatan atas argumen pembicara1 dan 2
3.
Memberikan contoh n bukti yg kuat untuk keseluruhan argument of the team.
Khusus untuk 3rd speaker lebih baik yg bnr2 pandai brbicara dan lebih galak.Karena 3rd spkr adalah ujung tombak dari team anda.jadi 3rd speaker adlh hrs yg pling kuat dlm berargument.
Tugas Untuk Negatif team:
Pada dasarnya sama hanya tidak perlu membuat parameter karena team afirmatif telah menentukan sendiri
Sebagai negatif harus jeli terhadap tugas2 1st speaker of +. Ingat: jika tdk ada parameter anda bisa merebut point itu.
katakan saja mis:
1st speaker of Neg: well because the 1st speaker of affrmtf team didnt give us the parameter,so here i wouldlike to give our parameter today…bla..bla..
Jadi mau tdk mau mereka harus ikut jalur anda.(sesuatu yg sepele dan sangat menjatuhkan posisi lawan krn bisa saja mrk tdk kepikiran tentang batasan pembicaraan yg anda buat, jadi mereka bisa bingung sendiri mengawali argument mereka.)
Seandainya mereka nekat lari tanpa peduli parameter anda,maka itu suatu kesalahan yg besar,berarti perdebatan tdk ada artinya alias cuma bicara sendiri2 dan anda bisa langsung menegurnya.
Jelasnya :
1st speaker: Rebutle of the 1st speaker afrmtf
Pembagian tugas sama sprti diatas
Argument
2nd : rebutle of the2nd spkr of afrmtf
Argument
3rd :rebutle of 3rd speaker of + team
proofing n summery(jgn buat kasus baru)
—————-
Demikian kurang lebihnya untuk Australian debate rules.Ada jg untuk Australasia debate rules yaitu sama dgn diatas hanya saja pd saat masing2 pembicara berargumen, maka pembicara dr tean lawan bisa mendebat secara langsung(debat Kusir).
Misalnya ditengah anda sedang bera argument maka salah satu atau dua..atau bahkan ketiganya dari team lawan akan berdiri sambil mengangkat tangan dan berteriak P.o.i (point of interuption)lalu menyampaikan rebutlenya untuk anda.
Namun cara ini jarang dipakai,hanya kemarin pernah ada di EDC smu-smk seDIY di AKPRIND univ.
Sepertiga Penderita AIDS Kaum Remaja »
Minggu, 25 Oktober 2009
JENIS DEBAT BAHASA INGGRIS
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam institusi legislatif seperti parlemen, terutama di negara-negara yang menggunakan sistem oposisi. Dalam hal ini, debat dilakukan menuruti aturan-aturan yang jelas dan hasil dari debat dapat dihasilkan melalui voting atau keputusan juri.
Contoh lain debat yang diselenggarakan secara formal adalah debat antar kandidat legislatif dan debat antar calon presiden/wakil presiden yang umum dilakukan menjelang pemilihan umum.
Debat kompetitif adalah debat dalam bentuk permainan yang biasa dilakukan di tingkat sekolah dan universitas. Dalam hal ini, debat dilakukan sebagai pertandingan dengan aturan ("format") yang jelas dan ketat antara dua pihak yang masing-masing mendukung dan menentang sebuah pernyataan. Debat disaksikan oleh satu atau beberapa orang juri yang ditunjuk untuk menentukan pemenang dari sebuah debat. Pemenang dari debat kompetitif adalah tim yang berhasil menunjukkan pengetahuan dan kemampuan debat yang lebih baik.
Debat kompetitif dalam pendidikan
Tidak seperti debat sebenarnya di parlemen, debat kompetitif tidak bertujuan untuk menghasilkan keputusan namun lebih diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu di kalangan pesertanya, seperti kemampuan untuk mengutarakan pendapat secara logis, jelas dan terstruktur, mendengarkan pendapat yang berbeda, dan kemampuan berbahasa asing (bila debat dilakukan dalam bahasa asing).
Namun demikian, beberapa format yang digunakan dalam debat kompetitif didasarkan atas debat formal yang dilakukan di parlemen. Dari sinilah muncul istilah "debat parlementer" sebagai salah satu gaya debat kompetitif yang populer. Ada berbagai format debat parlementer yang masing-masing memiliki aturan dan organisasinya sendiri.
Kejuaraan debat kompetitif parlementer tingkat dunia yang paling diakui adalah World Universities Debating Championship (WUDC) dengan gaya British Parliamentary di tingkat universitas dan World Schools Debating Championship (WSDC) untuk tingkat sekolah menengah atas.
Kompetisi debat bertaraf internasional umumnya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Tidak ada bantuan penerjemah bagi peserta manapun. Namun demikian, beberapa kompetisi memberikan penghargaan khusus kepada tim yang berasal dari negara-negara yang hanya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (English as Second Language - ESL).
Negara-negara yang terkenal dengan tim debatnya antara lain Inggris, Australia, Irlandia, dan Amerika Serikat. Di Asia, negara yang dianggap relatif kuat antara lain Filipina dan Singapura.
Debat kompetitif di Indonesia
Artikel Utama: Debat kompetitif di Indonesia
Di Indonesia, debat kompetitif sudah mulai berkembang, walaupun masih didominasi oleh kompetisi debat berbahasa Inggris. Kejuaraan debat parlementar pertama di tingkat universitas adalah Java Overland Varsities English Debate (JOVED) yang diselenggarakan tahun 1997 di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan diikuti oleh tim-tim dari berbagai wilayah di P. Jawa. Kejuaraan debat se-Indonesia yang pertama adalah Indonesian Varsity English Debate (IVED) 1998 di Universitas Indonesia. Hingga kini (2006), kedua kompetisi tersebut diselenggarakan setiap tahun secara bergilir di universitas yang berbeda.
Sejak 2001, Indonesia telah mengirimkan delegasi ke WSDC. Delegasi tersebut dipilih setiap tahunnya melalui Indonesian Schools Debating Championship (ISDC) yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Association for Critical Thinking (ACT).
Berbagai gaya debat parlementer
Dalam debat kompetitif, sebuah format mengatur hal-hal antara lain:
• jumlah tim dalam satu debat
• jumlah pembicara dalam satu tim
• giliran berbicara
• lama waktu yang disediakan untuk masing-masing pembicara
• tatacara interupsi
• mosi dan batasan-batasan pendefinisian mosi
• tugas yang diharapkan dari masing-masing pembicara
• hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pembicara
• jumlah juri dalam satu debat
• kisaran penilaian
Selain itu, berbagai kompetisi juga memiliki aturan yang berbeda mengenai:
• penentuan topik debat (mosi) - apakah diberikan jauh hari sebelumnya atau hanya beberapa saat sebelum debat dimulai (impromptu)
• lama waktu persiapan - untuk debat impromptu, waktu persiapan berkisar antara 15 menit (WUDC) hingga 1 jam (WSDC)
• perhitungan hasil pertandingan - beberapa debat hanya menggunakan victory point (VP) untuk menentukan peringkat, namun ada juga yang menghitung selisih (margin) nilai yang diraih kedua tim atau jumlah vote juri (mis. untuk panel beranggotakan 3 juri, sebuah tim bisa menang 3-0 atau 2-1)
• sistem kompetisi - sistem gugur biasanya hanya digunakan dalam babak elimiasi (perdelapan final, perempat final, semifinal dan final); dalam babak penyisihan, sistem yang biasa digunakan adalah power matching
Format debat parlementer sering menggunakan peristilahan yang biasa dipakai di debat parlemen sebenarnya:
• topik debat disebut mosi (motion)
• tim Afirmatif (yang setuju terhadap mosi) sering disebut juga Pemerintah (Government), tim Negatif (yang menentang mosi) disebut Oposisi (Opposition)
• pembicara pertama dipanggil sebagai Perdana Menteri (Prime Minister), dan sebagainya
• pemimpin/wasit debat (chairperson) dipanggil Speaker of The House
• penonton/juri dipanggil Members of the House (Sidang Dewan yang Terhormat)
• interupsi disebut Points of Information (POI)
Australian Parliamentary/Australasian Parliamentary ("Australs")
Gaya debat ini digunakan di Australia, namun pengaruhnya menyebar hingga ke kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan di Asia, sehingga akhirnya disebut sebagai format Australasian Parliamentary. Dalam format ini, dua tim beranggotakan masing-masing tiga orang berhadapan dalam satu debat, satu tim mewakili Pemerintah (Government) dan satu tim mewakili Oposisi (Opposition), dengan urutan sebagai berikut:
1. Pembicara pertama pihak Pemerintah - 7 menit
2. Pembicara pertama pihak Oposisi - 7 menit
3. Pembicara kedua pihak Pemerintah - 7 menit
4. Pembicara kedua pihak Oposisi - 7 menit
5. Pembicara ketiga pihak Pemerintah - 7 menit
6. Pembicara ketiga pihak Oposisi - 7 menit
7. Pidato penutup pihak Oposisi - 5 menit
8. Pidato penutup pihak Pemerintah - 5 menit
Pidato penutup (Reply speech) menjadi ciri dari format ini. Pidato penutup dibawakan oleh pembicara pertama atau kedua dari masing-masing tim (tidak boleh pembicara ketiga). Pidato penutup dimulai oleh Oposisi terlebih dahulu, baru Pemerintah.
Mosi dalam format ini diberikan dalam bentuk pernyataan yang harus didukung oleh pihak Pemerintah dan ditentang oleh Pihak Oposisi, contoh:
(This House believes) That globalization marginalizes the poor.
(Sidang Dewan percaya) Bahwa globalisasi meminggirkan masyarakat miskin.
Mosi tersebut dapat didefinisikan oleh pihak Pemerintah dalam batasan-batasan tertentu dengan tujuan untuk memperjelas debat yang akan dilakukan. Ada aturan-aturan yang cukup jelas dalam hal apa yang boleh dilakukan sebagai bagian dari definisi dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Tidak ada interupsi dalam format ini.
Juri (adjudicator) dalam format Australs terdiri atas satu orang atau satu panel berjumlah ganjil. Dalam panel, setiap juri memberikan voting-nya tanpa melalui musyawarah. Dengan demikian, keputusan panel dapat bersifat unanimous ataupun split decision.
Di Indonesia, format ini termasuk yang pertama kali dikenal sehingga cukup populer terutama di kalangan universitas. Kompetisi debat di Indonesia yang menggunakan format ini adalah Java Overland Varsities English Debate (JOVED) dan Indonesian Varsity English Debate (IVED).
Asian Parliamentary ("Asians")
Format ini merupakan pengembangan dari format Australs dan digunakan dalam kejuaraan tingkat Asia. Perbedaannya dengan format Australs adalah adanya interupsi (Points of Information) yang boleh diajukan antara menit ke-1 dan ke-6 (hanya untuk pidato utama, tidak pada pidato penutup). Format ini juga mirip dengan World Schools Style yang digunakan di WSDC.
Di Indonesia, format ini digunakan dalam ALSA English Competition (e-Comp) yang diselenggarakan (hampir) setiap tahun oleh ALSA LC [[Universitas Indonesia], dan juga di Mahoni English Debating Championship (MEDC) di SMA Negeri 2 Bengkulu sejak tahun 2000 dan Cendana English Day (CED) di SMA Negeri 5 Bengkulu sejak tahun 2005.
tobe continue . . .
Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam institusi legislatif seperti parlemen, terutama di negara-negara yang menggunakan sistem oposisi. Dalam hal ini, debat dilakukan menuruti aturan-aturan yang jelas dan hasil dari debat dapat dihasilkan melalui voting atau keputusan juri.
Contoh lain debat yang diselenggarakan secara formal adalah debat antar kandidat legislatif dan debat antar calon presiden/wakil presiden yang umum dilakukan menjelang pemilihan umum.
Debat kompetitif adalah debat dalam bentuk permainan yang biasa dilakukan di tingkat sekolah dan universitas. Dalam hal ini, debat dilakukan sebagai pertandingan dengan aturan ("format") yang jelas dan ketat antara dua pihak yang masing-masing mendukung dan menentang sebuah pernyataan. Debat disaksikan oleh satu atau beberapa orang juri yang ditunjuk untuk menentukan pemenang dari sebuah debat. Pemenang dari debat kompetitif adalah tim yang berhasil menunjukkan pengetahuan dan kemampuan debat yang lebih baik.
Debat kompetitif dalam pendidikan
Tidak seperti debat sebenarnya di parlemen, debat kompetitif tidak bertujuan untuk menghasilkan keputusan namun lebih diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu di kalangan pesertanya, seperti kemampuan untuk mengutarakan pendapat secara logis, jelas dan terstruktur, mendengarkan pendapat yang berbeda, dan kemampuan berbahasa asing (bila debat dilakukan dalam bahasa asing).
Namun demikian, beberapa format yang digunakan dalam debat kompetitif didasarkan atas debat formal yang dilakukan di parlemen. Dari sinilah muncul istilah "debat parlementer" sebagai salah satu gaya debat kompetitif yang populer. Ada berbagai format debat parlementer yang masing-masing memiliki aturan dan organisasinya sendiri.
Kejuaraan debat kompetitif parlementer tingkat dunia yang paling diakui adalah World Universities Debating Championship (WUDC) dengan gaya British Parliamentary di tingkat universitas dan World Schools Debating Championship (WSDC) untuk tingkat sekolah menengah atas.
Kompetisi debat bertaraf internasional umumnya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Tidak ada bantuan penerjemah bagi peserta manapun. Namun demikian, beberapa kompetisi memberikan penghargaan khusus kepada tim yang berasal dari negara-negara yang hanya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (English as Second Language - ESL).
Negara-negara yang terkenal dengan tim debatnya antara lain Inggris, Australia, Irlandia, dan Amerika Serikat. Di Asia, negara yang dianggap relatif kuat antara lain Filipina dan Singapura.
Debat kompetitif di Indonesia
Artikel Utama: Debat kompetitif di Indonesia
Di Indonesia, debat kompetitif sudah mulai berkembang, walaupun masih didominasi oleh kompetisi debat berbahasa Inggris. Kejuaraan debat parlementar pertama di tingkat universitas adalah Java Overland Varsities English Debate (JOVED) yang diselenggarakan tahun 1997 di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan diikuti oleh tim-tim dari berbagai wilayah di P. Jawa. Kejuaraan debat se-Indonesia yang pertama adalah Indonesian Varsity English Debate (IVED) 1998 di Universitas Indonesia. Hingga kini (2006), kedua kompetisi tersebut diselenggarakan setiap tahun secara bergilir di universitas yang berbeda.
Sejak 2001, Indonesia telah mengirimkan delegasi ke WSDC. Delegasi tersebut dipilih setiap tahunnya melalui Indonesian Schools Debating Championship (ISDC) yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Association for Critical Thinking (ACT).
Berbagai gaya debat parlementer
Dalam debat kompetitif, sebuah format mengatur hal-hal antara lain:
• jumlah tim dalam satu debat
• jumlah pembicara dalam satu tim
• giliran berbicara
• lama waktu yang disediakan untuk masing-masing pembicara
• tatacara interupsi
• mosi dan batasan-batasan pendefinisian mosi
• tugas yang diharapkan dari masing-masing pembicara
• hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pembicara
• jumlah juri dalam satu debat
• kisaran penilaian
Selain itu, berbagai kompetisi juga memiliki aturan yang berbeda mengenai:
• penentuan topik debat (mosi) - apakah diberikan jauh hari sebelumnya atau hanya beberapa saat sebelum debat dimulai (impromptu)
• lama waktu persiapan - untuk debat impromptu, waktu persiapan berkisar antara 15 menit (WUDC) hingga 1 jam (WSDC)
• perhitungan hasil pertandingan - beberapa debat hanya menggunakan victory point (VP) untuk menentukan peringkat, namun ada juga yang menghitung selisih (margin) nilai yang diraih kedua tim atau jumlah vote juri (mis. untuk panel beranggotakan 3 juri, sebuah tim bisa menang 3-0 atau 2-1)
• sistem kompetisi - sistem gugur biasanya hanya digunakan dalam babak elimiasi (perdelapan final, perempat final, semifinal dan final); dalam babak penyisihan, sistem yang biasa digunakan adalah power matching
Format debat parlementer sering menggunakan peristilahan yang biasa dipakai di debat parlemen sebenarnya:
• topik debat disebut mosi (motion)
• tim Afirmatif (yang setuju terhadap mosi) sering disebut juga Pemerintah (Government), tim Negatif (yang menentang mosi) disebut Oposisi (Opposition)
• pembicara pertama dipanggil sebagai Perdana Menteri (Prime Minister), dan sebagainya
• pemimpin/wasit debat (chairperson) dipanggil Speaker of The House
• penonton/juri dipanggil Members of the House (Sidang Dewan yang Terhormat)
• interupsi disebut Points of Information (POI)
Australian Parliamentary/Australasian Parliamentary ("Australs")
Gaya debat ini digunakan di Australia, namun pengaruhnya menyebar hingga ke kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan di Asia, sehingga akhirnya disebut sebagai format Australasian Parliamentary. Dalam format ini, dua tim beranggotakan masing-masing tiga orang berhadapan dalam satu debat, satu tim mewakili Pemerintah (Government) dan satu tim mewakili Oposisi (Opposition), dengan urutan sebagai berikut:
1. Pembicara pertama pihak Pemerintah - 7 menit
2. Pembicara pertama pihak Oposisi - 7 menit
3. Pembicara kedua pihak Pemerintah - 7 menit
4. Pembicara kedua pihak Oposisi - 7 menit
5. Pembicara ketiga pihak Pemerintah - 7 menit
6. Pembicara ketiga pihak Oposisi - 7 menit
7. Pidato penutup pihak Oposisi - 5 menit
8. Pidato penutup pihak Pemerintah - 5 menit
Pidato penutup (Reply speech) menjadi ciri dari format ini. Pidato penutup dibawakan oleh pembicara pertama atau kedua dari masing-masing tim (tidak boleh pembicara ketiga). Pidato penutup dimulai oleh Oposisi terlebih dahulu, baru Pemerintah.
Mosi dalam format ini diberikan dalam bentuk pernyataan yang harus didukung oleh pihak Pemerintah dan ditentang oleh Pihak Oposisi, contoh:
(This House believes) That globalization marginalizes the poor.
(Sidang Dewan percaya) Bahwa globalisasi meminggirkan masyarakat miskin.
Mosi tersebut dapat didefinisikan oleh pihak Pemerintah dalam batasan-batasan tertentu dengan tujuan untuk memperjelas debat yang akan dilakukan. Ada aturan-aturan yang cukup jelas dalam hal apa yang boleh dilakukan sebagai bagian dari definisi dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Tidak ada interupsi dalam format ini.
Juri (adjudicator) dalam format Australs terdiri atas satu orang atau satu panel berjumlah ganjil. Dalam panel, setiap juri memberikan voting-nya tanpa melalui musyawarah. Dengan demikian, keputusan panel dapat bersifat unanimous ataupun split decision.
Di Indonesia, format ini termasuk yang pertama kali dikenal sehingga cukup populer terutama di kalangan universitas. Kompetisi debat di Indonesia yang menggunakan format ini adalah Java Overland Varsities English Debate (JOVED) dan Indonesian Varsity English Debate (IVED).
Asian Parliamentary ("Asians")
Format ini merupakan pengembangan dari format Australs dan digunakan dalam kejuaraan tingkat Asia. Perbedaannya dengan format Australs adalah adanya interupsi (Points of Information) yang boleh diajukan antara menit ke-1 dan ke-6 (hanya untuk pidato utama, tidak pada pidato penutup). Format ini juga mirip dengan World Schools Style yang digunakan di WSDC.
Di Indonesia, format ini digunakan dalam ALSA English Competition (e-Comp) yang diselenggarakan (hampir) setiap tahun oleh ALSA LC [[Universitas Indonesia], dan juga di Mahoni English Debating Championship (MEDC) di SMA Negeri 2 Bengkulu sejak tahun 2000 dan Cendana English Day (CED) di SMA Negeri 5 Bengkulu sejak tahun 2005.
tobe continue . . .
Sabtu, 22 Agustus 2009
BERDOSAKAH TIDAK BERPOLITIK?
Sebagaimana telah dijelaskan dalam “Politik Menurut Kacamata Islam” bahwa politik berkaitan dengan Negara dan kekuasaan. Politik adalah upaya memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan keselamatan di kehidupan dunia maupun akherat serta mengatur urusan-urusan mereka.
Politik pada asalnya adalah seni memenej dan memelihara yang kemudian kata itu digunakan untuk penguasa terhadap rakyatnya melalui lembaga-lembaga yang dimilikinya diantaranya legislatif eksekutif dan yudikatif sebagaimana yang telah ditetapkan didalam Undang-Undang.
Slogan “Tidak ada politik didalam agama dan tidak ada agama dalam politik” merupakan slogan yang tidak layak didalam suatu masyarakat yang berpegang teguh dengan islam. Slogan tersebut prakis tertolak oleh karakteristik islam yang bersifat integral, mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk didalamnya politik.
Imam Ghazali pernah mengatakan,”Ketahuilah sesungguhnya syariah adalah asal, penguasa adalah pengawal. Segala sesuatu yang tidak memiliki asal maka ia akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak memiliki pengawal maka ia akan lenyap.” Artinya bahwa syari’ah harus menjadi dasar penguasa muslim didalam menjalankan pemerintahannya yang mengatur berbagai urusan rakyatnya.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa politik merupakan bagian dari keintegralan islam adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar bawah Rasulullah saw bersabda,”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai prtanggungjawabannya terhadap orang-orang yang dipimpinnya.”
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tamim ad Daariy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya,”Bagi siapa wahai Rasulullah?’ beliau saw bersabda,”Bagi Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang-orang awam dari mereka..”
Abu Bakar ash Shiddiq pernah mengatakan,”Wahai manusia, aku dahulu bekerja buat keluargaku, aku penuhi kebutuhan mereka. Adapun sekarang aku bekerja buat kalian maka mintalah kepadaku dari baitul mal kalian..”
Sejarah islam juga telah membuktikan betapa Rasulullah saw berhasil menciptakan dan meletakkan dasar-dasar hubungan antara penguasa dengan rakyatnya yang kemudian diikuti oleh para khalifah setelahnya yang sukses menjadikan masyarakat islam sebagai masyarakat yang unik yang tidak hanya berperhatian kepada urusan-urusan dunianya namun juga akheratnya.
Adapun apabila yang dimaksud berdosa bagi orang yang tidak berpolitik adalah ikut serta didalam suatu partai politik islam maka ini tidaklah betul. Seorang muslim bisa melakukan aktifitas politik yang sesuai dengan syari’ah tidak mesti harus berada didalam suatu partai politik. Ia bisa melakukan hal itu melalui ormas-oramas, lembaga-lembaga atau jama’ah-jama’ah yang ada seusai dengan kemampuan yang dimilikinya serta keadaan yang menyelimutinya selama apa yang mereka lakukan adalah membawa kemaslahatan buat umat.
Imam Al Banna mengatakan,”Kami bukanlah para politisi partai yang hanya memenangkan partai dan melawan partai yang lainnya. Kami tidaklah seperti itu dan tidak akan pernah seperti itu. Tidak seorang pun yang mampu memberikan satu dalil terhadap hal ini. Adapun kami adalah para politisi yang memperhatikan urusan-urusan keumatan.” (Majmu’atur Rosail hal 151)
Dari ungkapan beliau kita bisa simpulkan bahwa kata kuncinya bukanlah pada partai politik akan tetapi pada pekerjaan atau amal yang memberikan kemaslahatan kepada umat.
Wallahu A’lam
Politik pada asalnya adalah seni memenej dan memelihara yang kemudian kata itu digunakan untuk penguasa terhadap rakyatnya melalui lembaga-lembaga yang dimilikinya diantaranya legislatif eksekutif dan yudikatif sebagaimana yang telah ditetapkan didalam Undang-Undang.
Slogan “Tidak ada politik didalam agama dan tidak ada agama dalam politik” merupakan slogan yang tidak layak didalam suatu masyarakat yang berpegang teguh dengan islam. Slogan tersebut prakis tertolak oleh karakteristik islam yang bersifat integral, mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk didalamnya politik.
Imam Ghazali pernah mengatakan,”Ketahuilah sesungguhnya syariah adalah asal, penguasa adalah pengawal. Segala sesuatu yang tidak memiliki asal maka ia akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak memiliki pengawal maka ia akan lenyap.” Artinya bahwa syari’ah harus menjadi dasar penguasa muslim didalam menjalankan pemerintahannya yang mengatur berbagai urusan rakyatnya.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa politik merupakan bagian dari keintegralan islam adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar bawah Rasulullah saw bersabda,”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai prtanggungjawabannya terhadap orang-orang yang dipimpinnya.”
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tamim ad Daariy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya,”Bagi siapa wahai Rasulullah?’ beliau saw bersabda,”Bagi Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang-orang awam dari mereka..”
Abu Bakar ash Shiddiq pernah mengatakan,”Wahai manusia, aku dahulu bekerja buat keluargaku, aku penuhi kebutuhan mereka. Adapun sekarang aku bekerja buat kalian maka mintalah kepadaku dari baitul mal kalian..”
Sejarah islam juga telah membuktikan betapa Rasulullah saw berhasil menciptakan dan meletakkan dasar-dasar hubungan antara penguasa dengan rakyatnya yang kemudian diikuti oleh para khalifah setelahnya yang sukses menjadikan masyarakat islam sebagai masyarakat yang unik yang tidak hanya berperhatian kepada urusan-urusan dunianya namun juga akheratnya.
Adapun apabila yang dimaksud berdosa bagi orang yang tidak berpolitik adalah ikut serta didalam suatu partai politik islam maka ini tidaklah betul. Seorang muslim bisa melakukan aktifitas politik yang sesuai dengan syari’ah tidak mesti harus berada didalam suatu partai politik. Ia bisa melakukan hal itu melalui ormas-oramas, lembaga-lembaga atau jama’ah-jama’ah yang ada seusai dengan kemampuan yang dimilikinya serta keadaan yang menyelimutinya selama apa yang mereka lakukan adalah membawa kemaslahatan buat umat.
Imam Al Banna mengatakan,”Kami bukanlah para politisi partai yang hanya memenangkan partai dan melawan partai yang lainnya. Kami tidaklah seperti itu dan tidak akan pernah seperti itu. Tidak seorang pun yang mampu memberikan satu dalil terhadap hal ini. Adapun kami adalah para politisi yang memperhatikan urusan-urusan keumatan.” (Majmu’atur Rosail hal 151)
Dari ungkapan beliau kita bisa simpulkan bahwa kata kuncinya bukanlah pada partai politik akan tetapi pada pekerjaan atau amal yang memberikan kemaslahatan kepada umat.
Wallahu A’lam
AL-BAQARAH DAN KEBENARAN SEMUA AGAMA
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحًا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Maidah : 69)
Diriwayatkan dari Mujahid berkata bahwa Salman berkata,”Saya bertanya kepada Nabi saw tentang agama yang dahulu aku peluk bersama mereka. Aku menyebutkan tentang shalat dan ibadah mereka. Lalun turunlah ayat,“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)
As Suddiy berkata,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62) ayat ini diturunkan berkaitan dengan para sahabat Salman al Farisy ketika dia menceritakan para sahabatnya kepada Nabi saw, bahwa mereka melakukan puasa, shalat, beriman kepadamu, bersaksi bahwa engkau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai dari memuji mereka lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Wahai Salman sesungguhnya mereka termasuk penduduk neraka.” Hal itu mengagetkan Salman lalu Allah menurunkan ayat ini.
Keimanan orang-orang Yahudi adalah orang yang berpegang teguh dengan taurat dan sunnah Nabi Musa as hingga datangnya Nabi Isa. Adapun ketika Isa datang, orang yang berpegang teguh dengan taurat dan mengikuti sunnah Musa tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti Isa maka dia celaka. Sedangkan keimanan orang-orang Nasrani adalah mereka yang berpegang teguh dengan injil dan syariat-syariat Isa dan keimanan seperti ini diterima hingga datang Muhammad saw. Maka barangsiapa yang tidak mengikuti Muhammad dan meninggalkan sunnah Isa dan injil maka dia akan celaka.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa hal diatas tidaklah menafikan apa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62) lalu Allah menurunkan setelah itu,” Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al Imran : 85)
Sesungguhnya apa yang dikatakan Ibnu Abbas adalah berita tentang tidak diterimanya cara dan amal seseorang kecuali jika sesuai dengan syari’at Muhammad saw setelah beliau saw diutus oleh Allah swt. (Tafis al Qur’an al Azhim juz I hal 284 – 285)
Adapun tentang Shobi’in maka terjadi perbedaan pendapat, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa :
1. Shobi’in adalah kelompok dari orang-orang ahli kitab yang membaca zabur.
2. Mereka adalah seperti orang-orang Majusi.
3. Mereka adalah kaum yang menyembah malaikat.
4. Mereka adalah para penyembah malaikat, membaca kitab zabur dan melaksanakan shalat menghadap kiblat.
5. Mereka adalah kaum yang tinggal di daerah setelah Iraq, mereka berada di Kuutsi, beriman dengan seluruh nabi, melakukan puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, melaksanakan shalat menghadap ke Yaman setiap hari lima kali.”
6. Shobi’in adalah para pemeluk suatu agama yang tinggal di Jazirah al Maushul dan mengatakan “Laa Ilaaha Illallah” mereka tidak memiliki amal, kitab juga nabi kecuali perkataan “Laa Ilaaha Illallah”
7. Shobi’in adalah para pemeluk agama Nuh as.
Dari sekian banyak pendapat tersebut, Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang diungkapkan Mujahid dan Wahab bin Munbih bahwa Shobi’un adalah kaum yang bukan beragama Yahudi, Nasrani, Majusi atau Musyrik. Mereka adalah kaum yang tetap berada diatas fitrah mereka, mereka tidak memiliki agama tertentu yang dianut. Karena itulah kaum musyrikin memberi gelar orang yang telah masuk islam dengan sebutan “Shobi’i”, artinya orang itu telah keluar dari semua agama orang-orang di bumi saat itu.
Sementara itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Shobi’in ada dua macam : Shobi’in yang masih lurus dan Shobi’in yang musyrik. Orang-orang Shobi’in yang lurus inilah yang dipuji dan disanjung Allah swt didalam firman-Nya :
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)
Allah memuji orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh dari kalangan empat penganut tersebut, yaitu : Orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani dan Shobi’in.
Orang-orang Shabi’in yang lurus adalah orang-orang yang mengikuti syari’at taurat dan injil sebelum mengalami penghapusan, penyimpangan dan perubahan. Sedangkan orang-orang shobi’in sebelum mereka adalah seperti orang-orang yang mengikuti ajaran Ibrahim sebelum ditutunkannya taurat dan injil. (ar Roddu alal Manthiqin hal 288)
Wallahu A’lam
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحًا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Maidah : 69)
Diriwayatkan dari Mujahid berkata bahwa Salman berkata,”Saya bertanya kepada Nabi saw tentang agama yang dahulu aku peluk bersama mereka. Aku menyebutkan tentang shalat dan ibadah mereka. Lalun turunlah ayat,“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)
As Suddiy berkata,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62) ayat ini diturunkan berkaitan dengan para sahabat Salman al Farisy ketika dia menceritakan para sahabatnya kepada Nabi saw, bahwa mereka melakukan puasa, shalat, beriman kepadamu, bersaksi bahwa engkau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai dari memuji mereka lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Wahai Salman sesungguhnya mereka termasuk penduduk neraka.” Hal itu mengagetkan Salman lalu Allah menurunkan ayat ini.
Keimanan orang-orang Yahudi adalah orang yang berpegang teguh dengan taurat dan sunnah Nabi Musa as hingga datangnya Nabi Isa. Adapun ketika Isa datang, orang yang berpegang teguh dengan taurat dan mengikuti sunnah Musa tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti Isa maka dia celaka. Sedangkan keimanan orang-orang Nasrani adalah mereka yang berpegang teguh dengan injil dan syariat-syariat Isa dan keimanan seperti ini diterima hingga datang Muhammad saw. Maka barangsiapa yang tidak mengikuti Muhammad dan meninggalkan sunnah Isa dan injil maka dia akan celaka.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa hal diatas tidaklah menafikan apa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas,”Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62) lalu Allah menurunkan setelah itu,” Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al Imran : 85)
Sesungguhnya apa yang dikatakan Ibnu Abbas adalah berita tentang tidak diterimanya cara dan amal seseorang kecuali jika sesuai dengan syari’at Muhammad saw setelah beliau saw diutus oleh Allah swt. (Tafis al Qur’an al Azhim juz I hal 284 – 285)
Adapun tentang Shobi’in maka terjadi perbedaan pendapat, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa :
1. Shobi’in adalah kelompok dari orang-orang ahli kitab yang membaca zabur.
2. Mereka adalah seperti orang-orang Majusi.
3. Mereka adalah kaum yang menyembah malaikat.
4. Mereka adalah para penyembah malaikat, membaca kitab zabur dan melaksanakan shalat menghadap kiblat.
5. Mereka adalah kaum yang tinggal di daerah setelah Iraq, mereka berada di Kuutsi, beriman dengan seluruh nabi, melakukan puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, melaksanakan shalat menghadap ke Yaman setiap hari lima kali.”
6. Shobi’in adalah para pemeluk suatu agama yang tinggal di Jazirah al Maushul dan mengatakan “Laa Ilaaha Illallah” mereka tidak memiliki amal, kitab juga nabi kecuali perkataan “Laa Ilaaha Illallah”
7. Shobi’in adalah para pemeluk agama Nuh as.
Dari sekian banyak pendapat tersebut, Ibnu Katsir lebih memilih pendapat yang diungkapkan Mujahid dan Wahab bin Munbih bahwa Shobi’un adalah kaum yang bukan beragama Yahudi, Nasrani, Majusi atau Musyrik. Mereka adalah kaum yang tetap berada diatas fitrah mereka, mereka tidak memiliki agama tertentu yang dianut. Karena itulah kaum musyrikin memberi gelar orang yang telah masuk islam dengan sebutan “Shobi’i”, artinya orang itu telah keluar dari semua agama orang-orang di bumi saat itu.
Sementara itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Shobi’in ada dua macam : Shobi’in yang masih lurus dan Shobi’in yang musyrik. Orang-orang Shobi’in yang lurus inilah yang dipuji dan disanjung Allah swt didalam firman-Nya :
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)
Allah memuji orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh dari kalangan empat penganut tersebut, yaitu : Orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani dan Shobi’in.
Orang-orang Shabi’in yang lurus adalah orang-orang yang mengikuti syari’at taurat dan injil sebelum mengalami penghapusan, penyimpangan dan perubahan. Sedangkan orang-orang shobi’in sebelum mereka adalah seperti orang-orang yang mengikuti ajaran Ibrahim sebelum ditutunkannya taurat dan injil. (ar Roddu alal Manthiqin hal 288)
Wallahu A’lam
HIKMAH RASULULLAH SAW.TIDAK BISA MEMBACA DAN MENULIS
وَمَا كُنتَ تَتْلُو مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Artinya : ”Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (QS. Al Ankabut: 48)
Juga didalam firman-Nya :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ
Artinya : ”(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.” (QS. Al A’raf : 157)
Ayat pertama menunjukkan bahwa Nabi saw sudah ummi atau tidak dapat membaca maupun menulis sebelum diturunkannya Al Qur’an sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa orang-orang Ahli kitab telah mengetahui dirinya saw didalam kitab-kitab mereka tentang hal itu, dan tak seorang pun yang memperselisihkan hal ini.
Adapun hikmah dari tidak bisa membaca maupun menulis itu pada diri Rasulullah saw telah dijelaskan oleh ayat diatas yaitu menghilangkan tuduhan orang-orang kafir terhadap Rasulullah saw bahwa Al Qur’an diambil dari orang lain, atau dinukil dari kitab-kitab sebelumnya.
Adapun setelah diturunkannya Al Qur’an maka para ulama telah berselisih tentang apakah Rasulullah saw tetap dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis ataukah beliau saw telah mempelajari baca tulis.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ke-ummiyan-nya saw itu tidaklah berlanjut, berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Didalam ”Shahih Bukhori” dijelaskan bahwa beliau saw telah merubah didalam lembaran perjanjian Hudaibiyah satu kalimat yang menyebutkan ”Muhammad Rasulullah” menjadi ”Muhammad bin Abdullah” namun beliau belum begitu pandai dalam menulis.
2. Bahwa Rasulullah saw pernah membaca lembaran Uyainah bin Hishn serta menjelaskan maknanya.
3. Bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan tentang al Masih ad Dajjal ”Terdapat tulisan diantara kedua matanya (dajjal) kafir”
Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa Rasulullah saw tetap dalam keadaan ummiy dimana hikmah keummiyannya saw itu tetaplah ada sehingga tidak terdapat celah untuk menyerang kandungan yang ada didalam risalahnya maupun Al Qur’an yang telah diterimanya sebagai sebuah wahyu dari Allah swt selama diturunkannya secara berangsur-angsur hingga akhir hayatnya saw.
Sedangkan jawaban jumhur terhadap selain mereka adalah bahwa Nabi saw telah menulis sebagian kalimat tidaklah menghapuskan sifat keummiyannya saw. Banyak orang-orang yang ummiy pada hari ini yang mampu menulis namanya sendiri lalu menandatanganinya dan pada saat yang sama dirinya tidaklah bisa membaca apa yang ditandatanganinya itu, dan mereka tetaplah ummiy.
Begitulah, dan apabila keummiyan Rasulullah saw merupakan sifat yang memiliki kesempurnaan dan hikmah maka sesungguhnya keummiyan orang-orang yang berada ditengah-tengah kita adalah sifat yang harus kita hilangkan berdasarkan nash-nash yang banyak tentang anjuran untuk belajar dan mengajar. Membaca merupakan kunci yang paling utama untuk itu. Dan diantara petunjuk Rasulullah saw didalam tebusan tawanan perang badar adalah mengajarkan membaca dan menulis bagi sebagian anak-anak kaum Anshor. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 176)
Wallahu A’lam
Artinya : ”Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (QS. Al Ankabut: 48)
Juga didalam firman-Nya :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ
Artinya : ”(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.” (QS. Al A’raf : 157)
Ayat pertama menunjukkan bahwa Nabi saw sudah ummi atau tidak dapat membaca maupun menulis sebelum diturunkannya Al Qur’an sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa orang-orang Ahli kitab telah mengetahui dirinya saw didalam kitab-kitab mereka tentang hal itu, dan tak seorang pun yang memperselisihkan hal ini.
Adapun hikmah dari tidak bisa membaca maupun menulis itu pada diri Rasulullah saw telah dijelaskan oleh ayat diatas yaitu menghilangkan tuduhan orang-orang kafir terhadap Rasulullah saw bahwa Al Qur’an diambil dari orang lain, atau dinukil dari kitab-kitab sebelumnya.
Adapun setelah diturunkannya Al Qur’an maka para ulama telah berselisih tentang apakah Rasulullah saw tetap dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis ataukah beliau saw telah mempelajari baca tulis.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ke-ummiyan-nya saw itu tidaklah berlanjut, berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Didalam ”Shahih Bukhori” dijelaskan bahwa beliau saw telah merubah didalam lembaran perjanjian Hudaibiyah satu kalimat yang menyebutkan ”Muhammad Rasulullah” menjadi ”Muhammad bin Abdullah” namun beliau belum begitu pandai dalam menulis.
2. Bahwa Rasulullah saw pernah membaca lembaran Uyainah bin Hishn serta menjelaskan maknanya.
3. Bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan tentang al Masih ad Dajjal ”Terdapat tulisan diantara kedua matanya (dajjal) kafir”
Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa Rasulullah saw tetap dalam keadaan ummiy dimana hikmah keummiyannya saw itu tetaplah ada sehingga tidak terdapat celah untuk menyerang kandungan yang ada didalam risalahnya maupun Al Qur’an yang telah diterimanya sebagai sebuah wahyu dari Allah swt selama diturunkannya secara berangsur-angsur hingga akhir hayatnya saw.
Sedangkan jawaban jumhur terhadap selain mereka adalah bahwa Nabi saw telah menulis sebagian kalimat tidaklah menghapuskan sifat keummiyannya saw. Banyak orang-orang yang ummiy pada hari ini yang mampu menulis namanya sendiri lalu menandatanganinya dan pada saat yang sama dirinya tidaklah bisa membaca apa yang ditandatanganinya itu, dan mereka tetaplah ummiy.
Begitulah, dan apabila keummiyan Rasulullah saw merupakan sifat yang memiliki kesempurnaan dan hikmah maka sesungguhnya keummiyan orang-orang yang berada ditengah-tengah kita adalah sifat yang harus kita hilangkan berdasarkan nash-nash yang banyak tentang anjuran untuk belajar dan mengajar. Membaca merupakan kunci yang paling utama untuk itu. Dan diantara petunjuk Rasulullah saw didalam tebusan tawanan perang badar adalah mengajarkan membaca dan menulis bagi sebagian anak-anak kaum Anshor. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 176)
Wallahu A’lam
KRITERIA CENDIKIAWAN RABBANI
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (19) الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ (20) وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (21) وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ (22) جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ (23) سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ (24)
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran(19), (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian..(20) Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..” (21) Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),(22) (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu,(23) (sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (24) (Arra’d / 13 : 19 - 24)
Orang yang tidak mengetahui bahwa Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah benar itu bukan orang yang bodoh (tidak tahu), melainkan orang buta! Ini merupakan metode menakjubkan dalam menyentuh hati dan menyatakan perbedaan. Pada saat yang sama, hal itu merupakan suatu kebenaran, tanpa melebih-lebihkan, tanpa menambahi, dan tanpa membelokkan. Karena kondisi buta sajalah yang mengakibatkan ketidak-tahuan tentang hakikat yang jelas dan besar ini, yang memang tidak samar kecuali bagi orang yang buta. Di hadapan hakikat ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu orang-orang yang melihat sehingga mereka tahu, dan orang-orang yang buta sehingga mereka tidak tahu! Buta dimaksud adalah buta mata hati, tertutupnya konsepsi, terkuncinya hati, padamnya cahaya ma’rifat dalam ruh, dan terputusnya ia dari sumber cahaya.
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran..”
Orang yang memiliki akal dan hati yang sadar adalah orang yang apabila diingatkan tentang kebenaran maka ia mengambil pelajaran darinya, dan yang menyadari dalil-dalilnya lalu ia berpikir.
Berikut ini adalah sifat orang-orang yang memiliki akal itu:
“(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian..” (20)
Janji Allah itu bersifat mutlak dan mencakup setiap bentuk perjanjian. Ikrar dengan Allah itu bersifat absolut dan mencakup setiap bentuk ikrar. Perjanjian terbesar yang menjadi tonggak bagi perjanjian-perjanjian lain adalah perjanjian iman, dan ikrar terbesar yang menghimpun seluruh ikrar adalah ikrar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan iman.
Perjanjian iman itu ada yang bersifat lama (primordial) dan ada yang bersifat baru. Ada perjanjian primordial dalam fitrah manusia yang terhubung dengan undang-undang wujud seluruhnya; yang memahami secara langsung kesatuan kehendak yang menjadi sumber seluruh wujud ini, keesaan Khaliq sang empunya kehendak, dan bahwa Dia semata yang berhak disembah. Itulah perjanjian yang diambil pada manusia saat masih berada di tulang sulbi ayahnya menurut sebuah penafsiran yang kami terima.
emudian, ada perjanjian baru bersama para Rasul yang diutus Allah, bukan untuk mengadakan perjanjian iman, tetapi untuk memperbaharuinya, mengingatkannya, merincinya, menjelaskan tuntutan-tuntutannya untuk patuh kepada Allah dan meninggalkan kepatuhan kepada selain Allah, dengan disertai perbuatan baik, perilaku yang lurus, dan orientasi kepada Allah semata sebagai Pemegang perjanjian primordial tersebut.
Kemudian, perjanjian Ilahi dan ikrar Robbani itu mengimplikasikan setiap perjanjian dan ikrar terhadap manusia, baik terhadap Rasul atau kepada manusia biasa, baik kerabat atau yang bukan kerabat, baik individu-individu atau kelompok-kelompok. Seseorang yang memelihara perjanjian pertama itu harus memelihara seluruh perjanjian, karena menjaganya adalah wajib. Dan orang yang menjalankan tugas-tugas dari ikrar pertama itu juga harus menjalankan setiap yang dituntut pada manusia, karena ia termasuk beban-beban dari ikrar tersebut.
Itulah kaidah pertama yang melandasi seluruh bangunan kehidupan, yang dinyatakan al-Qur’an hanya dalam beberapa kalimat saja.
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..” (21)
Demikianlah, masalah ini dijelaskan secara global. Mereka menyambung setiap hal yang Allah perintahkan untuk disambung. Maksudnya, itulah ketaatan yang sempurna, konsitensi yang mengantar pada tujuan, dan perjalanan di atas sunnah dan sesuai undang-undang tanpa menyimpang dan tanpa berbelok. Karena itu, konteks surat membiarkan penjelasan perkara ini bersifat global, tanpa merinci satuan-satuan perintah Allah, karena perinciannya amat panjang, dan di sini itu bukan yang dituju. Karena yang dituju di sini adalah menggambarkan sifat istiqamah abolut tanpa berbelok, ketaatan abolut tanpa pernah membangkang, dan keterhubungan abolut tanpa pernah terputus. Kemudian, bagian akhir dari ayat ini mengisyaratkan perasaan dalam jiwa yang menyertai ketaatan yang sempurna tersebut:
“Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..”
Itulah rasa takut kepada Allah, takut akan siksaan yang buruk pada hari pertemuan yang menakutkan dengan-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yang berakal, yang menyadari hisab sebelum hari hisab terjadi.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya..”
Sabar memiliki banyak corak dan tuntutan. Ada sabar terhadap beban-beban perjanjian dalam bentuk amal, jihad, dakwah, ijtihad, dan seterusnya. Ada juga sabar terhadap nikmat dan kesusahan. Sedikit orang yang bisa sabar terhadap nikmat sehingga tidak sombong dan kufur. Ada juga sabar terhadap ketololan manusia yang menyesakkan dada. Intinya, sabar, sabar, dan sabar. Seluruhnya bertujuan mencari ridha Tuhan mereka, bukan untuk menghindari tudingan manusia bahwa mereka pengecut, bukan untuk mencari muka agar disebut sebagai orang yang sabar, bukan untuk mengharap keuntungan di balik kesabaran itu, bukan untuk menolak suatu mudharat yang timbul dari sifat pengecut, dan tidak untuk tujuan apapun, selain mencari ridha Allah. Juga sabar terhadap nikmat dan ujian-Nya. Kesabaran dalam arti berserah diri kepada ketentuan-Nya, tunduk kepada kehendak-Nya, ridha, dan menerima.
“Mendirikan shalat..”
Sebenarnya mendirikan shalat itu telah tercakup ke dalam perintah memenuhi perjanjian Allah, tetapi konteks surat menegaskannya karena mendirikan shalat merupakan tonggak pertama dari upaya memenuhi perjanjian tersebut, karena shalat itu merefleksikan tawajjuh yang tulus dan sempurna kepada Allah, dan karena shalat itu merelisasikan hubungan yang jelas antara hamba dengan Rabb secara tulus kepada-Nya, tanpa ada gerak dan kalimat di dalamnya untuk selain Allah.
“Dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan..”
Infak juga sebenarnya telah tercakup dalam perintah menyambung apa yang diperintahkan Allah untuk disambung, dan juga tercakup dalam tugas-tugas perjajian. Tetapi, konteks surat menampilkannya di sini karena ia merupakan hubungan antara hamba-hamba Allah yang menghimpun mereka di jalan Allah saat mereka dalam ranah kehidupan, yang membersihkan jiwa pemberinya dari sifat bakhil, membersihkan jiwa penerimanya dari sifat iri, menjadikan kehidupan dalam masyarakat Muslim itu layak bagi umat manusia yang tolong-menolong, saling menanggung, dan mulia di sisi Allah. infak diberikan secara sembunyi atau terang-terangan. Secara rahasia sehingga kehormatan dapat dijaga dan hati berhati-hati untuk mengumumkanya. Dan secara terang-terangan sehingga keteladanan diberikan, syari’at dilaksanakan, dan untuk ditaati. Masing-masing memiliki tempatnya dalam kehidupan.
“Serta menolak kejahatan dengan kebaikan..”
Maksudnya, mereka membalas kejahatan dengan sikap yang baik terkait dengan hubungan sehari-hari, bukan perkara agama. Tetapi, ungkapan di sini melewatkan pendahuluan untuk langsung kepada hasil. Jadi, membalas kejahatan dengan kebaikan itu dapat menekan kejahatan diri, mengarahkannya kepada kebaikan, memadamkan titik api kejahatan, dan menepis godaan setan. Dari sini kejahatan itu dapat dihindarkan, dan pada akhirnya dapat dicegah. Nash menyebut bagian akhir ini secara langsung untuk memotivasi manusia agar membalas kejahatan dengan kebaikan, dan untuk mengejar hasilnya yang diharapkan..
Kemudian, ayat tersebut mengisyaratkan secara intrinsik mengenai pembalasan kejahatan dengan kebaikan, dengan syarat sikap ini dapat menghindarkan kejahatan dan mencegahnya, bukan untuk membuatnya semakin dominan! Tetapi ketika kejahatan itu perlu ditekan dan dihadapi dengan tegas, maka tidak alasan untuk membalas kejahatan itu dengan kebaikan, agar kejahatan tersebut tidak semakin merajalela, tidak semakin berani, dan tidak mendominasi.
Membalas kejahatan dengan kebaikan itu biasanya terjadi pada hubungan pribadi antara dua orang yang setara. Adapun dalam ranah agama Allah, cara ini tidak berlaku. Tidak ada cara yang efektif untuk menindak orang yang sombong dan sewenang-wenang selain konfrontasi yang kuat. Dan tidak ada cara yang efektif untuk menghadapi orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi selain tindakan yang tegas. Instruksi-instruksi al-Qur’an ini sengaja disampaikan secara global, untuk melibatkan perenungan terhadap kondisi, pemikiran, dan tindakan yang dianggap baik dan benar.
“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (22-24)
Mereka itu berada pada maqam yang tinggi, dan bagi mereka tempat terakhir yang baik, yaitu surga ‘Adn sebagai tempat tinggal dan menetap.
Di dalam surga-surga ini direkatkan kembali hubungan mereka dengan orang-orang shaleh dari kalarangan orang tua, istri dan anak cucunya. Mereka masuk surga karena keshalehan dan kepantasan mereka. Lebih dari itu, mereka dimuliakan dengan pertemuan dengan keluarga yang terpisah-pisah, dan dengan pertemuan dengan orang-orang yang dicintai. Itu merupakan kenikmatan lain, yang membuat nikmat-nikmat surga terasa berlipat ganda.
Di dalam suasana pertemuan ini, para malaikat ikut memberikan ucapan selamat dan penghormatan secara berduyun-duyun.
“Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu..”
Konteks ayat membiarkan pemandangan itu hadir di depan mata, seolah-olah kita menyaksikannya dan mendengar ucapan para malaikat itu rombongan demi rombongan.
“‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (24)
Itulah parade yang sarat dengan pertemuan, salam, gerak yang kontinu, dan penghormatan.
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran(19), (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian..(20) Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..” (21) Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),(22) (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu,(23) (sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (24) (Arra’d / 13 : 19 - 24)
Orang yang tidak mengetahui bahwa Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah benar itu bukan orang yang bodoh (tidak tahu), melainkan orang buta! Ini merupakan metode menakjubkan dalam menyentuh hati dan menyatakan perbedaan. Pada saat yang sama, hal itu merupakan suatu kebenaran, tanpa melebih-lebihkan, tanpa menambahi, dan tanpa membelokkan. Karena kondisi buta sajalah yang mengakibatkan ketidak-tahuan tentang hakikat yang jelas dan besar ini, yang memang tidak samar kecuali bagi orang yang buta. Di hadapan hakikat ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu orang-orang yang melihat sehingga mereka tahu, dan orang-orang yang buta sehingga mereka tidak tahu! Buta dimaksud adalah buta mata hati, tertutupnya konsepsi, terkuncinya hati, padamnya cahaya ma’rifat dalam ruh, dan terputusnya ia dari sumber cahaya.
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran..”
Orang yang memiliki akal dan hati yang sadar adalah orang yang apabila diingatkan tentang kebenaran maka ia mengambil pelajaran darinya, dan yang menyadari dalil-dalilnya lalu ia berpikir.
Berikut ini adalah sifat orang-orang yang memiliki akal itu:
“(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian..” (20)
Janji Allah itu bersifat mutlak dan mencakup setiap bentuk perjanjian. Ikrar dengan Allah itu bersifat absolut dan mencakup setiap bentuk ikrar. Perjanjian terbesar yang menjadi tonggak bagi perjanjian-perjanjian lain adalah perjanjian iman, dan ikrar terbesar yang menghimpun seluruh ikrar adalah ikrar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan iman.
Perjanjian iman itu ada yang bersifat lama (primordial) dan ada yang bersifat baru. Ada perjanjian primordial dalam fitrah manusia yang terhubung dengan undang-undang wujud seluruhnya; yang memahami secara langsung kesatuan kehendak yang menjadi sumber seluruh wujud ini, keesaan Khaliq sang empunya kehendak, dan bahwa Dia semata yang berhak disembah. Itulah perjanjian yang diambil pada manusia saat masih berada di tulang sulbi ayahnya menurut sebuah penafsiran yang kami terima.
emudian, ada perjanjian baru bersama para Rasul yang diutus Allah, bukan untuk mengadakan perjanjian iman, tetapi untuk memperbaharuinya, mengingatkannya, merincinya, menjelaskan tuntutan-tuntutannya untuk patuh kepada Allah dan meninggalkan kepatuhan kepada selain Allah, dengan disertai perbuatan baik, perilaku yang lurus, dan orientasi kepada Allah semata sebagai Pemegang perjanjian primordial tersebut.
Kemudian, perjanjian Ilahi dan ikrar Robbani itu mengimplikasikan setiap perjanjian dan ikrar terhadap manusia, baik terhadap Rasul atau kepada manusia biasa, baik kerabat atau yang bukan kerabat, baik individu-individu atau kelompok-kelompok. Seseorang yang memelihara perjanjian pertama itu harus memelihara seluruh perjanjian, karena menjaganya adalah wajib. Dan orang yang menjalankan tugas-tugas dari ikrar pertama itu juga harus menjalankan setiap yang dituntut pada manusia, karena ia termasuk beban-beban dari ikrar tersebut.
Itulah kaidah pertama yang melandasi seluruh bangunan kehidupan, yang dinyatakan al-Qur’an hanya dalam beberapa kalimat saja.
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..” (21)
Demikianlah, masalah ini dijelaskan secara global. Mereka menyambung setiap hal yang Allah perintahkan untuk disambung. Maksudnya, itulah ketaatan yang sempurna, konsitensi yang mengantar pada tujuan, dan perjalanan di atas sunnah dan sesuai undang-undang tanpa menyimpang dan tanpa berbelok. Karena itu, konteks surat membiarkan penjelasan perkara ini bersifat global, tanpa merinci satuan-satuan perintah Allah, karena perinciannya amat panjang, dan di sini itu bukan yang dituju. Karena yang dituju di sini adalah menggambarkan sifat istiqamah abolut tanpa berbelok, ketaatan abolut tanpa pernah membangkang, dan keterhubungan abolut tanpa pernah terputus. Kemudian, bagian akhir dari ayat ini mengisyaratkan perasaan dalam jiwa yang menyertai ketaatan yang sempurna tersebut:
“Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk..”
Itulah rasa takut kepada Allah, takut akan siksaan yang buruk pada hari pertemuan yang menakutkan dengan-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yang berakal, yang menyadari hisab sebelum hari hisab terjadi.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya..”
Sabar memiliki banyak corak dan tuntutan. Ada sabar terhadap beban-beban perjanjian dalam bentuk amal, jihad, dakwah, ijtihad, dan seterusnya. Ada juga sabar terhadap nikmat dan kesusahan. Sedikit orang yang bisa sabar terhadap nikmat sehingga tidak sombong dan kufur. Ada juga sabar terhadap ketololan manusia yang menyesakkan dada. Intinya, sabar, sabar, dan sabar. Seluruhnya bertujuan mencari ridha Tuhan mereka, bukan untuk menghindari tudingan manusia bahwa mereka pengecut, bukan untuk mencari muka agar disebut sebagai orang yang sabar, bukan untuk mengharap keuntungan di balik kesabaran itu, bukan untuk menolak suatu mudharat yang timbul dari sifat pengecut, dan tidak untuk tujuan apapun, selain mencari ridha Allah. Juga sabar terhadap nikmat dan ujian-Nya. Kesabaran dalam arti berserah diri kepada ketentuan-Nya, tunduk kepada kehendak-Nya, ridha, dan menerima.
“Mendirikan shalat..”
Sebenarnya mendirikan shalat itu telah tercakup ke dalam perintah memenuhi perjanjian Allah, tetapi konteks surat menegaskannya karena mendirikan shalat merupakan tonggak pertama dari upaya memenuhi perjanjian tersebut, karena shalat itu merefleksikan tawajjuh yang tulus dan sempurna kepada Allah, dan karena shalat itu merelisasikan hubungan yang jelas antara hamba dengan Rabb secara tulus kepada-Nya, tanpa ada gerak dan kalimat di dalamnya untuk selain Allah.
“Dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan..”
Infak juga sebenarnya telah tercakup dalam perintah menyambung apa yang diperintahkan Allah untuk disambung, dan juga tercakup dalam tugas-tugas perjajian. Tetapi, konteks surat menampilkannya di sini karena ia merupakan hubungan antara hamba-hamba Allah yang menghimpun mereka di jalan Allah saat mereka dalam ranah kehidupan, yang membersihkan jiwa pemberinya dari sifat bakhil, membersihkan jiwa penerimanya dari sifat iri, menjadikan kehidupan dalam masyarakat Muslim itu layak bagi umat manusia yang tolong-menolong, saling menanggung, dan mulia di sisi Allah. infak diberikan secara sembunyi atau terang-terangan. Secara rahasia sehingga kehormatan dapat dijaga dan hati berhati-hati untuk mengumumkanya. Dan secara terang-terangan sehingga keteladanan diberikan, syari’at dilaksanakan, dan untuk ditaati. Masing-masing memiliki tempatnya dalam kehidupan.
“Serta menolak kejahatan dengan kebaikan..”
Maksudnya, mereka membalas kejahatan dengan sikap yang baik terkait dengan hubungan sehari-hari, bukan perkara agama. Tetapi, ungkapan di sini melewatkan pendahuluan untuk langsung kepada hasil. Jadi, membalas kejahatan dengan kebaikan itu dapat menekan kejahatan diri, mengarahkannya kepada kebaikan, memadamkan titik api kejahatan, dan menepis godaan setan. Dari sini kejahatan itu dapat dihindarkan, dan pada akhirnya dapat dicegah. Nash menyebut bagian akhir ini secara langsung untuk memotivasi manusia agar membalas kejahatan dengan kebaikan, dan untuk mengejar hasilnya yang diharapkan..
Kemudian, ayat tersebut mengisyaratkan secara intrinsik mengenai pembalasan kejahatan dengan kebaikan, dengan syarat sikap ini dapat menghindarkan kejahatan dan mencegahnya, bukan untuk membuatnya semakin dominan! Tetapi ketika kejahatan itu perlu ditekan dan dihadapi dengan tegas, maka tidak alasan untuk membalas kejahatan itu dengan kebaikan, agar kejahatan tersebut tidak semakin merajalela, tidak semakin berani, dan tidak mendominasi.
Membalas kejahatan dengan kebaikan itu biasanya terjadi pada hubungan pribadi antara dua orang yang setara. Adapun dalam ranah agama Allah, cara ini tidak berlaku. Tidak ada cara yang efektif untuk menindak orang yang sombong dan sewenang-wenang selain konfrontasi yang kuat. Dan tidak ada cara yang efektif untuk menghadapi orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi selain tindakan yang tegas. Instruksi-instruksi al-Qur’an ini sengaja disampaikan secara global, untuk melibatkan perenungan terhadap kondisi, pemikiran, dan tindakan yang dianggap baik dan benar.
“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (22-24)
Mereka itu berada pada maqam yang tinggi, dan bagi mereka tempat terakhir yang baik, yaitu surga ‘Adn sebagai tempat tinggal dan menetap.
Di dalam surga-surga ini direkatkan kembali hubungan mereka dengan orang-orang shaleh dari kalarangan orang tua, istri dan anak cucunya. Mereka masuk surga karena keshalehan dan kepantasan mereka. Lebih dari itu, mereka dimuliakan dengan pertemuan dengan keluarga yang terpisah-pisah, dan dengan pertemuan dengan orang-orang yang dicintai. Itu merupakan kenikmatan lain, yang membuat nikmat-nikmat surga terasa berlipat ganda.
Di dalam suasana pertemuan ini, para malaikat ikut memberikan ucapan selamat dan penghormatan secara berduyun-duyun.
“Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu..”
Konteks ayat membiarkan pemandangan itu hadir di depan mata, seolah-olah kita menyaksikannya dan mendengar ucapan para malaikat itu rombongan demi rombongan.
“‘Salamun ‘alaikum bima shabartum (Selamat atas kalian karena kesabaran kalian).’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (24)
Itulah parade yang sarat dengan pertemuan, salam, gerak yang kontinu, dan penghormatan.
MENCAPAI DERAJAT SIDDIQIN
Sifat shidiq merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq.
بسم الله الرحمن الرحيم
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau bersabda. ‘Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)
Sekilas Tentang Hadits.
Hadits ini dengan jalur sanad merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh seluruh A’immah Ashab Kutub Al-Sittah, kecuali imam Nasa’i :
- Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur sanad Jarir bin Mansur, dari Abi Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah SAW, dalam Shahihnya, Kitab Al-Adab, Bab Qoulullah Ta’ala Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah Wakunu Ma’as Shadiqin, hadits no 6094.
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab, Bab Qabhul Kadzib Wa Husnus Shidq Wa Fadhluh, hadits no 2607.
- Imam Turmudzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr Was Sillah An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fis Sidqi Wal Kadzibi, hadits no. 1971, melalui jalur sanad A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Ibnu Mas’ud.
- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Adab, bab Fi Attasydid Fil Kadzib, hadits no. 4989, melalui jalur sanad Al-A’masy, dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud.
- Imam Ibnu Majah dalam Muqaddimah di Sunannya, Bab Ijtinab Al-Bida’ Wal Jadl, hadits no 46, malalui jalur sanad Abu Ishaq, dari Abu Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya, pada Musnad Al-Muktisirn Minas Shahabah dalam Musnad Ibnu Mas’ud, hadits no 3631, 3719, & 4097.
Gambaran Umum Tentang Hadits
Hadits sederhana ini menggambarkan tentang adanya dua hakekat perberbedaan yang begitu jauh, sejauh perbedaan antara surga dan neraka. Hakekat pertama adalah mengenai assidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan Rasullah saw sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang ke surga. Sementara hakekat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka.
Rasulullah SAW ketika menggambarkan kedua hal di atas, sekaligus mengaitkan juga dengan mashirah (kesudahan) dua sifat yang berbeda tadi, yaitu surga bagi yang shadiq serta neraka bagi yang kadzib. Faedahnya adalau untuk memberikan tadzkir yang medalam, serta tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai masalah yang ringan. Karena secara tabi’at, manusia seringkali menganggap remeh keduanya. Sementara kesudahan dari kedua sifat di atas sangat jauh berbeda, sejauh perbedaan antara surga dan neraka.
Pada kedua sifat yang digambarkan Rasulullah SAW di atas, selalu diikuti dengan perilaku manusia terhadap kedua sifat tersebut, hingga manusia akan menjadi salah satu diantara keduanya; shadiq atau kadzib. Artinya, untuk dikatakan bahwa seseorang itu adalah shadiq misalnya, ia harus membuktikannya dengan perbuatannya sendiri, hingga ia dengan sendirinya akan mendapatkan “gelar” sifat tersebut. Sebaliknya, seseorang yang dikatakan sebagai pendusta, adalah hasil dari perilaku dan perbuatannya, yang akhirnya menjadikannya sebagai pendusta. Dalam kasus pertama, contoh yang paling kongkrit adalah Abu Bakar As-Shidiq. Karena Abu Bakar merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:
قَالَ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)
Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”
Puncaknya adalah pada kejadian isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW. Namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?”. Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakattannya itu benar. Dan aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Assidiq. Gelar Assidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat sidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar, sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa sidiq merupakan sifat yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT.
Pengertian Assidq
Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi makna yang dikandungnya:
الصدق: من صدق – يصدق - صدقا
Lawan kata sidiq adalah kadzib (dusta). Diantara arti sidiq adalah: Benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Penulis melihat bahwa sidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Alah dan Rasulullah SAW yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Contoh kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj, diwaktu tiada orang yang mempercayai Rasulullah SAW. Artinya, sifat shidiq ini lebih dekat pada kebenaran implementasi keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Benarkah imannya, atau dustakah ia? Meskipun tidak salah juga ketika mengartikan shidq dengan kejujuran, sebagaimana lawan katanya yaitu al-kadzib dengan kedustaan.
Para ulama sendiri, ketika diminta komentarnya mengenai makna dari Shidiq, mereka memiliki beragam gambaran, diantaranya adalah sebagai berikut :
• Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
• Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
• Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang membayahakan dirinya.
• Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.
Sidiq Merupakan Hakekat Kebaikan
Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dalam ayat ini digambarkan dimensi yang dicakupi oleh sidiq yaittu meliputi keiamanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: (QS.9 : 119)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq). ”
Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal bwerikut:
1. Bahwa sidiq itu menuntun seseorang menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya ke surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ… (متفق عليه)
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’
2. Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib meruapakan sumber dari keburukan:
وإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار… (متفق عليه)
“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.”
3. Sidiq merupakan ketenangan. Hal ini tergambar dari hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (رواه الترمذي)
Dari Abu Haura' As-Sa'dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah SAW? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketengangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)
4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah SAW. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus:
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ هِرْقَلٌ فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانٌ، قُلْتُ يَقُوْلُ اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)
“Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.”
5. Dengan sidiq seseorang akan mendapatkan pahala sesuatu yang dicita-citakannya, meskipun ia belum atau tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi cita-citanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.”
6. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengemukakan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مَحَقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (متفق عليه)
“Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.”
Siddiqin dan Saddiqat akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar
Dalam al-Qur’an dengan sangat jelas Allah memuji orang yang sidiq, baik dari kaum mu’minin maupun mu’minah. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surat al-Ahzab (QS. 33: 35) Allah mengatakan:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin
Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: (QS. 4: 69)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Posisi apakah yang paling mulia di akhirat kelak selain posisi para nabi dan syuhada’ serta orang-orang shaleh?. Hal ini menunjukkan betapa sidiq merupakan sifat yang sangat disukai Allah SWT. Jika tidak, tentu Allah tidak akan menjanjikan sesuatu yang sangat tinggi kepada mereka.
Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi
Dalam al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim as. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: (QS. 19: 41)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”
Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris as. Allah juga memujinya dalam al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: (QS. 19: 56)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”
Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf as. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman: Allah berfirman (QS. 12: 51):
قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ اْلأَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."
Ciri-ciri Orang yang Sidiq
Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:
1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23)
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”
2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”
3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. (QS. 2: 177)
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101)
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”
Cara Mencapai Sifat Sidiq
Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:
1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.
2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.
3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.
4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam:
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”
5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.
6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.
7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.
Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, marilah kita menjaga hati kita dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat sidiq. Untuk kemudian berusaha setahap demi setahap untuk menumbuhkan sifat sidiq, agar kita dapat bersama-sama dengan para nabi, syuhada’ dan shalihin di akhirat kelak. Amiin.
بسم الله الرحمن الرحيم
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau bersabda. ‘Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)
Sekilas Tentang Hadits.
Hadits ini dengan jalur sanad merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh seluruh A’immah Ashab Kutub Al-Sittah, kecuali imam Nasa’i :
- Imam Bukhari meriwayatkan dari jalur sanad Jarir bin Mansur, dari Abi Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah SAW, dalam Shahihnya, Kitab Al-Adab, Bab Qoulullah Ta’ala Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah Wakunu Ma’as Shadiqin, hadits no 6094.
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Birr Was Sillah Wal Adab, Bab Qabhul Kadzib Wa Husnus Shidq Wa Fadhluh, hadits no 2607.
- Imam Turmudzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr Was Sillah An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fis Sidqi Wal Kadzibi, hadits no. 1971, melalui jalur sanad A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Ibnu Mas’ud.
- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Adab, bab Fi Attasydid Fil Kadzib, hadits no. 4989, melalui jalur sanad Al-A’masy, dari Abi Wa’il dari Ibnu Mas’ud.
- Imam Ibnu Majah dalam Muqaddimah di Sunannya, Bab Ijtinab Al-Bida’ Wal Jadl, hadits no 46, malalui jalur sanad Abu Ishaq, dari Abu Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas’ud.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya, pada Musnad Al-Muktisirn Minas Shahabah dalam Musnad Ibnu Mas’ud, hadits no 3631, 3719, & 4097.
Gambaran Umum Tentang Hadits
Hadits sederhana ini menggambarkan tentang adanya dua hakekat perberbedaan yang begitu jauh, sejauh perbedaan antara surga dan neraka. Hakekat pertama adalah mengenai assidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan Rasullah saw sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang ke surga. Sementara hakekat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka.
Rasulullah SAW ketika menggambarkan kedua hal di atas, sekaligus mengaitkan juga dengan mashirah (kesudahan) dua sifat yang berbeda tadi, yaitu surga bagi yang shadiq serta neraka bagi yang kadzib. Faedahnya adalau untuk memberikan tadzkir yang medalam, serta tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai masalah yang ringan. Karena secara tabi’at, manusia seringkali menganggap remeh keduanya. Sementara kesudahan dari kedua sifat di atas sangat jauh berbeda, sejauh perbedaan antara surga dan neraka.
Pada kedua sifat yang digambarkan Rasulullah SAW di atas, selalu diikuti dengan perilaku manusia terhadap kedua sifat tersebut, hingga manusia akan menjadi salah satu diantara keduanya; shadiq atau kadzib. Artinya, untuk dikatakan bahwa seseorang itu adalah shadiq misalnya, ia harus membuktikannya dengan perbuatannya sendiri, hingga ia dengan sendirinya akan mendapatkan “gelar” sifat tersebut. Sebaliknya, seseorang yang dikatakan sebagai pendusta, adalah hasil dari perilaku dan perbuatannya, yang akhirnya menjadikannya sebagai pendusta. Dalam kasus pertama, contoh yang paling kongkrit adalah Abu Bakar As-Shidiq. Karena Abu Bakar merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:
قَالَ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)
Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”
Puncaknya adalah pada kejadian isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW. Namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?”. Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakattannya itu benar. Dan aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Assidiq. Gelar Assidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat sidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar, sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa sidiq merupakan sifat yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT.
Pengertian Assidq
Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi makna yang dikandungnya:
الصدق: من صدق – يصدق - صدقا
Lawan kata sidiq adalah kadzib (dusta). Diantara arti sidiq adalah: Benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Penulis melihat bahwa sidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Alah dan Rasulullah SAW yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Contoh kisah Abu Bakar sebagai penguatnya. Karena beliau dapat membuktikan implementasi keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj, diwaktu tiada orang yang mempercayai Rasulullah SAW. Artinya, sifat shidiq ini lebih dekat pada kebenaran implementasi keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Benarkah imannya, atau dustakah ia? Meskipun tidak salah juga ketika mengartikan shidq dengan kejujuran, sebagaimana lawan katanya yaitu al-kadzib dengan kedustaan.
Para ulama sendiri, ketika diminta komentarnya mengenai makna dari Shidiq, mereka memiliki beragam gambaran, diantaranya adalah sebagai berikut :
• Shidiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah.
• Shidiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
• Shidiq adalah ungkapan yang haq, kendatipun memiliki resiko yang membayahakan dirinya.
• Shidiq adalah perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.
Sidiq Merupakan Hakekat Kebaikan
Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dalam ayat ini digambarkan dimensi yang dicakupi oleh sidiq yaittu meliputi keiamanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: (QS.9 : 119)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq). ”
Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab sidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal bwerikut:
1. Bahwa sidiq itu menuntun seseorang menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya ke surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ… (متفق عليه)
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’
2. Sementara itu lawan dari sidiq, yaitu kadzib meruapakan sumber dari keburukan:
وإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار… (متفق عليه)
“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.”
3. Sidiq merupakan ketenangan. Hal ini tergambar dari hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (رواه الترمذي)
Dari Abu Haura' As-Sa'dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah SAW? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketengangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)
4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah SAW. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus:
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ هِرْقَلٌ فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانٌ، قُلْتُ يَقُوْلُ اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَّةِ (متفق عليه)
“Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.”
5. Dengan sidiq seseorang akan mendapatkan pahala sesuatu yang dicita-citakannya, meskipun ia belum atau tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi cita-citanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.”
6. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengemukakan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مَحَقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (متفق عليه)
“Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.”
Siddiqin dan Saddiqat akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar
Dalam al-Qur’an dengan sangat jelas Allah memuji orang yang sidiq, baik dari kaum mu’minin maupun mu’minah. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surat al-Ahzab (QS. 33: 35) Allah mengatakan:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin
Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para siddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: (QS. 4: 69)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Posisi apakah yang paling mulia di akhirat kelak selain posisi para nabi dan syuhada’ serta orang-orang shaleh?. Hal ini menunjukkan betapa sidiq merupakan sifat yang sangat disukai Allah SWT. Jika tidak, tentu Allah tidak akan menjanjikan sesuatu yang sangat tinggi kepada mereka.
Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi
Dalam al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat siddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim as. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: (QS. 19: 41)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”
Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris as. Allah juga memujinya dalam al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: (QS. 19: 56)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”
Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf as. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman: Allah berfirman (QS. 12: 51):
قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ اْلأَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."
Ciri-ciri Orang yang Sidiq
Orang yang sidiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:
1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang sidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23)
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”
2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”
3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. (QS. 2: 177)
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101)
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”
Cara Mencapai Sifat Sidiq
Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Asidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:
1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat sidiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.
2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat sidiq.
3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.
4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam:
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”
5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.
6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan kesiddiqannya.
7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.
Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari sidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, marilah kita menjaga hati kita dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat sidiq. Untuk kemudian berusaha setahap demi setahap untuk menumbuhkan sifat sidiq, agar kita dapat bersama-sama dengan para nabi, syuhada’ dan shalihin di akhirat kelak. Amiin.
Langganan:
Postingan (Atom)